Oleh Dr. Rasyidah, M.Ag | Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Fakultas Da’wah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
***
IBNU QAYIM mengatakan bahwa metode apa pun yang menghasilkan keadilan, maka itu adalah bagian dari ad-diin (agama). Islam menciptakan keadilan sebagai wujud keberpihakan kepada kelompok yang lemah atau kaum mustadl’afin.
Ini menjadi tugas dakwah nahy mungkar, karena ketidakadilan merupakan efek sengkarut kuasa yang berkolusi dengan keserakahan atas nama pengabaian nilai-nila kemanusiaan.
Dakwah nahy mungkar penuh tantangan dan tidak menjadi jalan dawah yang banyak dipili, dengan kata lain lebih banyak dai yang bertahan di zona aman, memilih menghindar dari isu rentan, dan berdiri pada prinsip dakwah minimalis, selemah lemah iman. Sebagiannya memilih gerakan yang menghumbar kekerasan, mengatasnamakan nahy mungkar, memberantas kemaksiatan.
Ketidakadilan telah ada sepanjang peradaban manusia, Rasulullah telah tegak di atas keberpihakan Islam dan melakukan pembelaan dengan empati kenabian yang luar biasa. Membela kelompok yang tertindas, kelompok rentan, pihak yang terzhalimi dan kaum marjinal.
Membangun keseimbangan dengan mengontrol pemegang kekuasaan, orang kaya, dan pemilik power lainnya agar tidak zalim dan menindas yang lemah. Rasulullah membangun keseimbangan dan kesetaraan dengan menegakkan limitasi dan kontrol terhadap pemiliki power, mendorong pemenuhan hak (advokasi) bagi yang lemah. Jadilah Islam indah dengan semangat humanisasinya (Marzuki Wahid, 2020).
Selesaikah sudah penindasan? Tidak. Replika cerita lama dalam warna dunia merdeka terus saja diwarnai ketidakadilan. Skenario kolaborasi pemilik kuasa dan pemilik modal yang merekayasa keuntungan dalam penindasan tak terbaca atau terang benderang, seolah menjadi rumus dunia yang terjadi di banyak tempat dan masa.
Lalu siapa yang mewarisi semangat kenabian Rasulullah yang memihak kepada korbannya? Mampukan dakwah yang bertugas mengembangkan Islam dan umat Islam memainkan peran aktifnya? Pertanyaan ini adalah keresahan yang nyaris tidak butuh jawaban, karena pertanyaan terpentingnya adalah “bagaimana cara melakukannya”.
Tidak berlebihan jika tulisannya ini menawarkan Participatory Action Research (PAR) sebagai salah satu alternatifnya. Dakwah dengan PAR tidak menempatkan mustadl’afin sebagai kelompok lemah yang ditopang selalu, dikeloni, dan diceramahi.
Tetapi membangun gerakan agar mereka memiliki kesadaran kritis (bukan kesadaran magis apa lagi naif), melihat diri mereka dalam lingkaran masalah yang sebenarnya (bukan hallo effect) sehingga mereka cukup kuat untuk melakukan perubahan bagi mereka sendiri.
Ini yang difirmankan Allah Swt dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS Ar-Ra’d: 11).
Agar masyarakat mau berubah dan mampu melakukan perubahan, maka dai PAR perlu menerapkan pendekatan partisipatif. Mudah bagi dai agar ucapannya didengarkan, tapi dai PAR harus lebih banyak belajar mendengarkan dan mendorong mustadl’afin untuk bersuara, memecahkan kebekuan yang membelenggu mereka dalam ketidakadilan.
Belajar menumbuhkan simpati dan empati yang akan membucah menjadi keberanian untuk berdiri di sisi mereka dengan aksi-aksinya. Keberpihakan Islam pada kelompok rentan harus diwujudkan melalui dakwah dengan PAR.
Objek dakwahnya adalah realitas sosial, budaya, politik dan ekonomi yang bercampur dengan ketidakadilan, kezaliman, kekerasan, penindasan, ekploitasi, hegemoni, dan diskriminasi.
Maka dengan sipirit Islam, dai dapat melakukan fungsi advokasi dan dialogis, bersama masyarakat untuk tranfromasi sosial menuju cita social Islam “kemaslahatan”, kebahagiaan hidup dunia akhirat. (Marzuki wahid, 2020).
Islam sangat menganjurkan untuk mendampingi sesama yang membutuhkan pertolongan. Ketika dai memihak pada pembelaan keadilan bagi mustadl’afin, tidak serta merta dakwah menjadi sosialis, marxis apalagi komunis. Akan tetapi, dakwah dikembalikan pada khittahnya yaitu amanah dakwah Rasulullah. Keluar dari mainstream dakwah mimbar, atau dakwah halaqah dengan misi nahy mungkar adalah dakwah spesial.
Metode PAR dapat menjadi afiliasi rujukan dai untuk menjawab how to do that. PAR menuntut dai untuk melakukan dialog timbal balik yang terus menerus antara konsep Islam dengan realitas social, menemukan dan memaknai maqashid al-shari’ah, dan memgintegrasikannya dalam basis keilmuan untuk memahami kondisi mad’u.
Inti PAR adalah keberpihakan, dan inti da’wah adalah menghidupkan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai Islam yang dilanda “pandemic nafsu tirani’, atau mati suri adalah awal dari semua ketidak adilan.
Dai menjadi simbol bagi Islam untuk membuktikan keberpihakan. Maka da’wah dengan PAR, dakwah nahy mungkar, should be done. Sudah saatnya da’i memulai dan belajar perangkat pendekatan baru, pendekatan partisipatif, dan PAR salah satunya.
Tulisan ini merupakan refleksi atas ruang belajar yang luar biasa bersama Marzuki Wahid, Agus Afandi, Suwendi, Abdul Basyir dan Mahrus pada Short Course Nasional PAR Kemenag RI 2020.[]