Lian Gouw saat memberikan Kuliah Umum di Jurusan Komnikasi dan Penyiaran Islam |
WASATHA.COM, BANDA ACEH – Lian Gouw: Sebelum menulis, setiap penulis harus bertanya kepada diri sendiri tiga pertanyaan penting, pertama, apa tujuan saya menuliskan ini? Apa yang perlu saya sampaikan kepada pembaca saya? Dan apakah penggunaan Bahasa Indonesia saya sudah baik?
Hal tersebut disampaikan
seorang pendiri Dalang Publishing yang bertempat di USA saat membuka kuliah
umum kepenulisan yang diadakan oleh Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
(KPI) di Aula Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Senin (12/11/2018).
“Tanpa mejawab tiga
pertanyaan penting tersebut seorang penulis tidak akan mencapai kedudukan hebat
didunia menulis dan juga bahasa adalah ungkapan jiwa sehingga bahasa adalah
alat terpenting bagi seorang penulis, bukan komputer, tapi bahasa, khusus
bahasa,” tegasnya.
Lanjutnya, bahan tulisan
seorang penulis akan menarik serta bermakna jika penulis terdorong untuk
menyuarakan sesuatu yang harus dibagi dengan orang lain untuk kepentingan
pengetahuan umum atau membagi kemakmuran dan pengetahuan jiwa.
“Jadi saat menulis,
kepentingan penulis itu tidak hanya membeberkan kepentingan diri sendiri. Yang
penting dan menarik bagi pembaca bukan cerita si penulis, kecuali ia orang yang
berpengarush seperti presiden dan sebagainya,” jelasnya.
Dalam tulisannya seorang
penulis harus jujur pada diri sendiri mengungkapkan apa yang ingin ditulisnya.
“Penulis harus memiliki
keberanian untuk menyatakan pendiriannya meskipun berlawanan dengan pendirian
umum maupun pendirian pemerintah,” pungkasnya
Kiat menulis tersebut
dijelaskan oleh, Lian Gouw dengan dua pemateri lainnya Retna Ariastuti
penerjemah di Dalang Publishing dan Zubaidah Djohar sebagai aktivis kemanusiaan
dan penyair Indonesia merujuk pada sebuah buku yang berjudul Lolong Anjing Di
Bulan karya Arafat Nur dan diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris Blood
Moon Over Aceh oleh Maya Denisa Saputra.
Arafat Nur penulis yang
berasal dari Aceh menulis tentang masa kelam Aceh khususnya yang terjadi sejak
tahun 1976-2015. cerita keadaan yang sangat menyedihkan dalam sejarah Aceh,
kehidupan rakyat jelata di Alue Rambe, Kecamatan Buloh Blang Ara Kota Lhokseumawe.
Rakyat tertindas dan teraniaya juga terjepit didua kubu yang bertikai, satu
sisi pejuang Aceh yaitu saudara, anak, ayah dan suami dan sisi lain pemerintah
dengan tangan militernya berusaha memporak-porandakan kehidupan di Alue Rambe.
Retna Astuti menyebutkan
bahwa Arafat Nur sebagai penulis sanggup menggambarkan dengan cerdas keadaan
penduduk yang susah karena perang yang berkepanjangan, tetapi meski demikian
tetap berusaha menjalankan kehidupan yang sebiasa mungkin sehingga seolah olah
tidak pernah terjadi apa-apa.
“Meskipun zaman itu adalah
zaman yang sangat kelam dalam Sejarah Aceh tapi kekelaman itu tidak mampu
menghapuskan atau menghitamkan keindahan alam tanah Aceh yang dibawa ke halaman
buku oleh Arafat Nur. Dengan menggunakan kata-kata sebagai kuas untuk
melukiskan tanah kelahirannya dalam warna yang hidup dengan gerakan kuas yang
lebar dan tegas,” ujar Retna.
Ia menjelaskan juga bahwa
tujuan Arafat Nur menuliskan novel tersebut ialah, melalui novel tersebut
Arafat ingin mengungkap sejumlah kejadian untuk membangun suatu kesadaran
pemerintah agar tidak sewenang-wenang terhadap masyarakat. [sumber: sumberpost.com]