MANUSIA adalah salah satu makhluk ciptaan Allah SWT yang dikekalkan dan abadi, dimulai sejak dari alam ruh, rahim, lahir ke dunia, mati, kemudian masuk alam barzah, dibangkitkan dan dikumpulkan kembali nanti di Padang Mahsyar pada Hari Kiamat, sampai hari berhisab, kemudian mendiami surga atau neraka, manusia tetap ada dan abadi selamanya.
Ini tentu berbeda dengan makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuhan yang diciptakan untuk fana hanya sebatas di dunia, yang etika sudah mati, tidak ada lagi kehidupan di akhirat untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.
Sedangkan manusia kehidupannya akan terus berlanjut setelah kematian di dunia, yaitu untuk mempertanggungjawabkan semua yang dikerjakan di dunia apakah sesuai dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri yaitu untuk beribadah kepada Allah seperti ditegaskan dalam Alquran Surat Az-Zariyat ayat 56.
Demikian antara lain disampaikan Tgk H Muhammad Hatta Lc, M.Ed (Pimpinan LPI Dayah Madani Al-Aziziyah, Lampeuneureut, Aceh Besar) saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (24/1) malam.
"Karena tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, maka ia dikekalkan dan kembali hidup abadi setelah kematian di dunia.
Ini dalam rangka pertanggungjawaban atas apa yang diperbuat manusia saat berada di dunia apakah sesuai dengan tujuan penciptaan (mukmin) atau melenceng (kafir)," ujar Tgk Muhammad Hatta.
Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh ini menyebutkan, setiap makhluk bernama manusia yang hidup saat ini harus menyadari, kita ini hidup untuk kehidupan yang abadi. Bagaimana kita memaknai kehidupan hari ini, akan menentukan kehidupan selanjutnya setelah mati.
Dikatakannya, orang yang cerdas ia akan sadar betul tujuan hidupnya, tidak memperturutkan hawa nafsu yang mecelakakan dirinya setelah kematian, dia senantiasa beramal untuk kepentingan kehidupan setelah kematian, bukan beramal untuk sebelum mati.
"Apakah kita yang hidup hari ini beramal untuk bakdal maut atau qablal maut. Jika kita beramal untuk qablal maut, kita bukan orang yang cerdas. Jika manusia itu bisa memenuhi tujuan penciptaannya untuk beribadah, maka selamatlah dia dalam kehidupan yang kekal, dan jika sebaliknya, maka ia juga akan kekal dalam penderitaannya sejak kematian di dunia," ungkap ulama muda yang akrab disapa Abiya Hatta ini.
Ditambahkannya, orang cerdas yang beramal untuk bakdal maut akan selalu menjadikan setiap dimensi yang diperbuat di dalam kehidupan, tidak akan pernah keluar dari nilai-nilai ibadah. Baik duduk, makan minum, mandi, tidur, bekerja, mencari nafkah, dan berumah tangga selalu bernilai ibadah dan menjauhi kemurkaan Allah yaitu yang bernilai maksiat di dalamnya.
"Orang cerdas paham betul laut yang diarunginya di dunia ini sangat dalam dan penuh dengan berbagai ujian, sebelum ia mencapai tepinya ketika tibanya aja menjemput. Orang cerdas juga paham semua hal untuk keperluan hidupnya di dunia sudah dijelaskan dalam Alquran dan Hadits, ia tidak lagi mencari celah lagi untuk mengelak karena dia hanya berpikir untuk bakdal maut bukan berpikir qablal maut," terang Abiya Hatta yang juga Pengurus HUDA dan Bakomubin Aceh ini.
Pada kesempatan tersebut, Tgk Muhammad Hatta juga menyampaikan delapan perkara untuk modal hidup di dunia. Ini merupakan dialog seorang guru yaitu Syaqiq al-Balkhi dengan muridnya, Hatim al-A’sham.
Syaqiq al-Balkhi bertanya kepada muridnya, Hatim al-A’sham, “Berapa lama kamu telah belajar kepadaku?” Hatim menjawab: “Sudah selama 30 tahun lebih”.
Syaqiq bertanya lagi, “Apa yang kamu pelajari dariku selama itu?” Hatim menjawab, “Ada delapan perkara.”
Syaqiq berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Aku habiskan umurku bersamamu selama itu dan kamu tidak belajar kecuali delapan perkara?!” Hatim menjawab, “Guru, aku tidak belajar selainnya. Sungguh aku tidak bohong.” Syaqiq kemudian berkata lagi, “Coba jelaskan kepadaku apa yang sudah kamu pelajari”. Hatim menjawab.
Pertama, “Ketika aku memperhatikan makhluk yang ada di dunia ini, aku melihat masing-masing mempunyai kekasih, dan ia ingin selalu bersama kekasihnya bahkan hingga ke dalam kuburnya, tetapi ketika dia sudah sampai di kuburnya, kekasihnya justru berpaling darinya. Ia pun merasa kecewa karena kekasihnya tidak lagi dapat bersama masuk ke dalam kuburnya dan berpisah dengannya. Karena itu aku ingin menjadikan amal kebaikan yang menjadi kekasihku, sebab jika aku masuk kubur, maka semua amal kebaikan akan ikut bersamaku.
Kedua, “Saya merenungkan firman Allah dalam Surat An-Nazi’at ayat 40-41, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).
Maka saya berusaha keras untuk meneguhkan diri dalam menundukkan hawa nafsu, hingga nafsu saya mampu tegar atau tenang (tidak goyah) di atas ketaatan kepada Allah.
Ketiga, “Saya memperhatikan manusia, dan saya amati masing-masing memiliki sesuatu yang berharga, yang dia menjaganya agar barang tersebut tidak hilang. Kemudian saya membaca firman Allah dalam Surat An-Nahl ayat 96, “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.
Karenanya, apabila setiap aku memiliki sesuatu yang berharga dan bernilai, segera saja aku serahkan kepada Allah, agar milikku terjaga bersama-Nya dan tidak hilang (agar kekal di sisi Allah).
Keempat, “Saya memperhatikan manusia dan saya ketahui masing-masing mereka membanggakan hartanya, pangkatnya (kedudukannya) dan nasabnya (keturunannya). Kemudian aku memperhatikan firman Allah dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Maka aku berbuat dalam koridor takwa (aku kerjakan konsekuensi takwa), hingga menjadikan aku di sisi Allah, sebagai orang yang mulia.
Kelima, “Saya memperhatikan manusia dan (saya tahu) mereka saling mencela dan mengumpat antara satu dan lainnya. Saya tahu masalah utamanya di sini adalah sifat iri hati (dengki). Maka saya kemudian memperhatikan firman Allah dalam Surat Az-Zukhruf ayat 32, “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.
Maka saya kemudian meninggalkan sifat iri hati dan menghindar dari banyak orang, karena saya tahu bahwa pembagian rezeki itu benar-benar dari Allah, yang menjadikanku tidak patut memusuhi dan iri kepada orang lain.
Enam, “Ketika kupandangi makhluk yang ada di dunia ini, ternyata mereka suka berbuat kedurhakaan dan berperang satu sama lain, akupun kembali kepada firman Allah Surat Fathir ayat 6, “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh (mu)” Maka aku tinggalkan permusuhan diantara manusia, karena itu setan kupandang sebagai musuhku satu-satunya dan akupun sangat berhati-hati kepadanya, karena Allah menyatakan setan adalah musuhku.
Tujuh, “Saya memperhatikan manusia, maka saya melihat masing-masing diantara mereka memasrahkan jiwanya dan menghinakan diri mereka sendiri dalam mencari rezeki. Bahkan ada diantara mereka yang berani melihat kepada firman Allah Surat Hud ayat 11, "Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang menanggung rezekinya”
Saya kemudian menyadari bahwa saya adalah salah satu dari makhluk melata, sehingga Allah pasti akan menanggung rezekinya. Maka saya menyibukkan diri dengan apa yang menjadi hak Allah dan saya tinggalkan hak saya atas Allah. (Saya meninggalkan apa-apa yang tidak dibagikan kepadaku)”
Delapan, “Saya memperhatikan manusia, maka saya lihat masing-masing dari mereka menyerahkan diri (bertawakkal) kepada sesama makhluk (orang ataupun barang). Ada yang menyandarkan hidupnya kepada sawah ladangnya, sebagian karena perniagaannya, sebagian karena hasil karya produksinya, sebagian lain karena pekerjaannya, kesehatan badannya dan simpanannya/tabungannya.
Maka saya melihat kepada firman Allah Surat Ath-Thalaaq ayat 3, “Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Ia akan mencukupi (keperluan)-nya”. Maka saya kemudian menyerahkan diri dan mempercayakan semuanya kepada Allah karena Dia akan mencukupi segala keperluanku.