FOTO : Google |
WASATHA.COM - Presiden Guatemala
Jimmy Morales berencana akan memindahkan kedutaan besar mereka untuk Israel
dari Tel Aviv ke Yerusalem (Al-Quds).
Hal tersebut disampaikan melalui
sebuah postingan di akun Facebook-nya pada Ahad (24/12/2017) itu dikemukakan
beberapa saat usai menelepon Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
“Kami berbicara tentang hubungan
baik [dengan Netanyahu] yang kami miliki sebagai negara sejak Guatemala
mendukung pembentukan negara Israel,” kata Morales seperti dilansir
Mirajnews.com.
“Salah satu topik yang paling
penting adalah kembalinya Kedutaan Besar Guatemala ke Yerusalem,” katanya.
“Saya telah menginstruksikan para konselor untuk memulai koordinasi
masing-masing agar seperti itu.”
Morales tidak memberikan
informasi kapan langkah itu akan terjadi.
Langkah tersebut mendukung
keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 6 Desember 2017 untuk
mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar
Washington dari Tel Aviv ke kota yang diperebutkan tersebut.
Majelis Umum PBB dengan anggota
193 negara pada Kamis (21/12) mengadopsi sebuah resolusi tentang Yerusalem yang
didukung mayoritas anggota, meminta AS menarik pengakuannya atas kota tersebut
sebagai ibu kota Israel.
Sebanyak 128 anggota memilih
resolusi tersebut, sembilan negara – Guatemala salah satunya – memilih untuk
menentang dan 35 lainnya melakukan abstain. Sementara 21 negara tidak
memberikan suara.
Menjelang pemungutan suara,
Presiden Trump memperingatkan bahwa dia mungkin akan memotong bantuan keuangan
ke negara-negara yang memilih, dan mengingat AS adalah donor utama bagi
Guatemala. Hal itu kemungkinnan menjadi faktor dalam pemikiran negara itu.
Kedaulatan Israel atas Yerusalem
tidak pernah diakui secara internasional, dan sesuai dengan kesepakatan damai
Israel-Palestina 1993, status terakhir Yerusalem dimaksudkan untuk dibahas
dalam perundingan damai tahap akhir.
Sejak 1967, Israel telah
membangun ratusan permukiman, rumah bagi sekitar 200.000 orang Yahudi, di
Yerusalem Timur. Pembangunan ini dianggap ilegal menurut hukum internasional,
meski Israel membantahnya.