WASATHA.COM - Jangan sesekali Anda memotret polisi yang tengah sibuk
bekerja di berbagai kawasan Makkah.
Entah kalau di luar Makkah, tapi
tampaknya sama saja ketentuannya. Asal masih di Arab Saudi, mending
jangan coba-coba. Panjang urusannya.
Berikut pengalaman Wartawan Republika.co.id, Nashih Nashrullah yang dikutip Wasatha.com.
Siang itu, Rabu (30/8/2017), adrenalin saya terpacu mencoba mengambil
gambar para polisi lalu lintas yang sedang mengatur penutupan terowongan
King Fahd.
Terowongan ini adalah akses terdekat yang menghubungkan ke arah Mina dan lokasi jamarat.
Pos jaga mereka berada di seberang
jalan, Kantor Misi Haji Daker Makkah, di Distrik Shisha. Secara
diam-diam tentu. Jika izin pasti sudah ditolak.
Semula saya memotret mereka dari jarak jauh. Lalu perlahan mendekat
hingga akhirnya benar-benar tepat di depan polisi, pos jaga, dan portal
yang mereka pasang sebagai penutup jalan.
Saya juga mengambil gambar aksi mereka di pintu masuk toilet yang ada
di sebelah pos. Suasana saat itu memang sedang benar-benar ramai.
Jalanan Makkah jelang masa puncak haji bisa jauh lebih padat ketimbang
jalanan Jakarta.
Otoritas Saudi memberlakukan penutupan sejumlah akses utama menuju lokasi-lokasi ritual haji (masya’ir). Di antaranya akses ke Masjid al-Haram, Mina, lokasi Jamarat, dan jalan utama menuju Arafah dan Muzdalifah.
Pengalihan rute alternatif bisa jadi jalannya memutar lebih jauh.
Itulah mengapa antrean mobil tampak mengular di beberapa ruas jalan
protokol. Tak sedikit pengendara memilih memutar arah dengan menerjang
pembatas jalan.
Saya sukses mendapat empat jepretan askar, begitu orang kita
menyebutnya. Semula semua berjalan lancar. Tiba-tiba dari kejauhan, sang
kapten dengan berlari kecil mengampiri saya.
Waduh, alamat brabe
dah. Dia mendekati saya dengan berteriak, menegur saya, dengan sangat
keras. Dengan dialek gaul Jakarta-an, kurang lebih maknanya: “Lo ngapain foto-foto kami, bodoh, pergi lo!.”
Dia merebut kamera saya dan gelagatnya, gerakan tangan Si Kapten hendak membanting kamera saya yang sudah berpindah tangah. Eitss gawat ini.
Kalau sampai benar-benar dibanting, pusing. Pusing ganti rugi ke
kantor, bisa potong gaji tiap bulan! Pikiran itu terus berkutat di
benak.
Saya berusaha tetap tenang. Tidak membalas teriakannya. Hingga tiba-tiba dia berteriak sembari mengangkat kerah saya, ”Enta Hayawan!” Anda binatang! Begitu makna teriakannya.
Dia terus keras berteriak. Saya mencoba jelaskan. Dia tidak mau terima. Saya didorong. Kacamata saya jatuh. Pundak saya dipukul.
Untung bukan kepala. Sang Kapten kelihatan menghindari memukul bagian
kepala, dia sadar betul, pukulan di kepala tanpa alasan kuat, bisa kena
pasal. Apalagi pelanggaran saya tidak berat.
Di sejumlah negara Timur Tengah, silakan Anda berkelahi adu jotos, asal jangan kepala sasarannya, sungguh rumit urusan, kawan.
Sang Kapten terus mendesak saya. Saya jelaskan, saya wartawan Kantor
Misi Haji Indonesia. Dia tak peduli. Lalu memaksa meminta film kamera
saya. Apa? Film? Saya tertawa dalam hati.
Saya tak banyak cakap.
Zaman sekarang semua serba digital, barangkali yang dimaksud adalah
micro sd. Tapi saya memilih diam. Saya meminta dan memohon dengan
sangat, kembalikan kamera saya dan berjanji, akan hapus semua foto di
depan dia.
Dia terlihat melunak, meski tak berhenti meneriaki saya, enta hayawan! Suasana juga sempat tegang.
Semua mata tertuju pada kami. Beberapa jamaah haji Pakistan penasaran
mendekat dan ingin tahu, apa yang sedang terjadi. Saya pun menghapus
satu per satu gambar jepretan saya, di hadapan dia dan beberapa anak
buahnya.
It’s done. Terhapus semua. Sang Kapten pun menjauh. Lantas
apakah dia berhenti ‘mengoceh’? Tidak. Dia masih tidak terima, dari
kejauhan satu kalimat saya dengar. “Kalau bukan Anda sudah saya
jebloskan ke penjara.” Di tengah kemelut ini, saya masih beruntung!
Kemudian beberapa saat kemudian saya tunjukkan tasrih izin
dari Kementerian Penerangan yang saya dan tim Media Center Haji (MCH)
2017 peroleh untuk melakukan liputan kepada salah satu anak buah si
kapten. Dia menerangkan izin ini untuk memotret suasana masya’ir, bukan polisi.
Saya berkilah, justru dengan jepretan ini saya ingin tunjukkan kepada
publik Indonesia keseriusan dan komitmen tinggi Arab Saudi mengamankan
peyelenggaraan haji. Tidak ada faedah, kata dia.
Suara keras si kapten kembali terdengar nyaring di telinga, ruh enta hayawan! Pergi Anda binatang. Baik saya pergi, tapi dengar juga teriakan saya: ana musy hayawan, ana insan! Saya bukan hewan saya manusia, Kapten! (republika.co.id)