Iklan

Iklan

Ini Dia, Dua Model Gaya Hidup Seorang Muslim

6/28/17, 13:09 WIB Last Updated 2017-06-28T06:47:07Z

BONIS Verhage (2007), Solomon et al (2007) dan Roger Blackwell et al (2006, 2007) menyatakan pula bahwa gaya hidup adalah cara seseorang menghabiskan waktu dan uang untuk membeli dan menggunakan produk atau kegiatan, apa yang mereka anggap penting dan berminat di lingkungan mereka dan apa yang mereka fikirkan tentang diri mereka oleh lingkungan sekitar.

Terkadang seseorang membeli sesuatu dengan merek tertentu, duduk minum kopi setiap hari, belanja di mall-mall tertentu, gowes dengan teman-teman pada hari tertentu adalah bahagian dari gaya hidupnya sehari-hari (lifestyle).

Bagi seorang muslim, gaya hidup ini bisa di bagi kepada 2:

Gaya hidup yang sifatnya Eksternal
Gaya hidup yang sifatnya Internal

Pertama, Gaya hidup yang sifatnya Esternal adalah gaya hidup muslim yang bisa dilihat dan dirasakan oleh orang-orang sekitarnya. Al Quran mengajarkan kita, bagaimana gaya hdup muslim;
Tidak berlebih-lebihan dan tidak pelit dan berada ditengah-tengah dalam setiap kebutuhan yang diperlukan. Allah berfirman dalam surah Al Furqan 67.

Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

Allah memuji hamba-Nya yang bersikap sederhana dalam membelanjakan kekayaannya. Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya: “orang yang bersikap demikian adalah orang yang tidak boros dalam memanfaatkan harta sampai berbelanja melebihi kebutuhan dan tidak pula kikir terhadap keluarganya sampai mengurangi hak-hak mereka dan tidak memberikan kecukupan bagi mereka. Dia berlaku adil, sederhana dan bertindak yang terbaik. Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan dan tidak berlebih-lebihan” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/325).

Sikap pertengahan yang diperintahkan, adalah tidak kikir, tidak menahan, tidak berlebihan dan boros. Sikap terbaik dan seharusnya adalah pertengahan di antara semua sikap ekstrim di atas. Dan janganlah kamu jadikan tanganmu belenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena hal itu memebuat kamu menjadi tercela dan menyesal. (QS. Al-Isro’: 29)

Dalam hal praktiknya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa “Allah swt memerintahkan agar seseorang bersikap sederhana di dalam kehidupannya, Dia mencela sikap kikir dan melarang sikap boros, yaitu tidak boleh bersikap pelit dan menahan harta dan tidak memberikannya kepada seorangpun.

Demikian pula tidak boleh berlebihan dalam membelanjakan harta, sehingga melebihi kemampuan orang, dan pengeluarannya melebihi penghasilannya. Akibat sikap kikir, orang menjadi sasaran celaan, cercaan dan pengacuhan.

Sedangkan sikap berlebihan mengulurkan bantuan di atas kemampuan dapat membangkrutkan orang sehingga tidak memiliki apa-apa lagi bahkan bisa terlilit hutang dan menjadi seperti hasir, yaitu sebuah hewan tunggangan yang tidak mampu lagi berjalan”. (Tafsir Ibnu Katsir: 3/36).

Dalam Islam ada larangan hidup boros dan bermewah-mewahan sehingga harta terbuang sia-sia dan hanya tinggal sedikit didermakan. Orang yang boros dan hidup mewah disebut sebagai saudara setan. Bagaimana mungkin seseorang bisa dengan tenang hidup mewah dan berfoya-foya, sementara banyak orang kelaparan dan hidup dalam kekurangan?

Penampilan terbaik adalah diberikan untuk Allah. (Pakaian, penampilan, dll) Al A’raf 31).

Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Ayat ini merupakan bantahan atas tindakan orang-orang musyrik, yang dengan sengaja mengerjakan thawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang.
Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim, an-Nasa’i dan Ibnu Jarir. Maka Allah berfirman: khudzuu ziinatakum ‘inda kulli masjidin (“Pakailah pakaianmu yang indah di setiap [memasuki] masjid.”)
Imam al-Bukhari meriwayatkan, Ibnu ‘Abbas berkata: “Makan dan berpakaianlah sesuka kalian, asalkan engkau terhindar dari dua sifat: berlebih-lebihan dan sombong.” Imam Ahmad meriwayatkan dari `Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasululullah saw. pernah bersabda:

"Makan, minum, berpakaian dan bersedekahlah kalian dengan tidak sombong dan berlebih-lebihan, karena sesungguhnya Allah suka melihat nikmat-Nya tampak pada hamba-Nya.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Berani memakai pakaian yang mewah ketika bertemu manusia atau orang-orang penting dan merasa malu jika pakaian kita tidak pantas, maka lebih layak lagi kita memakai pakain yang terbaik ketika kita ketemu sama Rabb yang telah menciptakan kita, memberikan rezeki dan menciptakan orang-orang penting dalam hidup kita.

Gaya kita jangan terbalik, jumpa manusia mewah tapi jumpa Allah lusuh dan tidak menarik. Seorang muslim pandai menempatkan dirinya dengan siapa dia berhadapan.

Bekerja secara Profesional
Kerja adalah sebuah tanggung jawab yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada setiap muslim untuk memenuhi kewajiban penghambaannya secara sempurna kepada Allah, meraih kebahagian dunia dan di akhirat.

Rasulullah SAW memberikan keutamaan yang sangat tinggi kepada para pekerja. Rasulullah SAW berkata; “barang siapa yang sore hari duduk kelelahan lantaran pekerjaan yang telah dilakukannya, maka ia dapatkan sore hari tersebut dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT (HR. Thabrani).

Di hadist yang lain rasul berkata; “Sesungguhnya Allah SWT mencintai mukmin yang bekerja giat lagi professional (HR, Thabrani). Rasulullah SAW mencium tangan seorang tukang batu yang bernama Saad bin Muad Al Anshari. Rasulullah melihat tangan Saad tampak melepuh, kulitnya legam merah kehitaman karena terpanggang sinar matahari yang panas. Lantas Rasulullah bertanya kepada Saad, “Kenapa dengan tanganmu?” Saad segera menjawab pertanyaan manusia Agung yang ada di hadapannya. “Wahai Rasulullah, saya bekerja membelah batu setiap harinya. Batu-batu itu kemudian saya jual ke pasar, uangnya saya gunakan untuk memberi nafkah keluarga saya. Karena itulah tangan saya kasar dan melepuh seperti ini.” Dalam sekejap, Rasulullah meraih tangan kasar Saad, si tukang batu tersebut dan menciumnya. Kemudian Beliau bersabda, “inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya”. (HR Thabrani).

Bekerja secara profesional dalam segala hal sangat diapresiasi oleh Islam. Prinsip ini sesuai dengan inspirasi dalam sebuah hadist Nabi riwayat Ahmad dan Abu Dawud. “Bertakwalah kamu kepada Allah, dimanapun kamu berada (bersikap religius), hapuskan hal buruk dengan hal baik (sikap profesional) dan perlakukan orang-orang dengan akhlak yang baik (memanusiakan manusia)”.

Allah SWT menjelaskan dalam Al Quran surah Al Baqarah 195

Artinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Islam menempatkan bekerja sebagai ibadah untuk mencari rezeki dari Allah guna menutupi kebutuhan hidupnya. Bekerja untuk mendapatkan rezeki yang halalan thayiban termasuk ke dalam jihad di jalan Allah yang nilainya sejajar dengan melaksanakan rukun Islam. Dengan demikian bekerja adalah ibadah dan menjadi kebutuhan setiap umat manusia. Bekerja yang baik adalah wajib sifatnya dalam Islam.

Rasulullah, para nabi dan para sahabat adalah para profesional yang memiliki keahlian dan pekerja keras. Mereka selalu menganjurkan dan menteladani orang lain untuk mengerjakan hal yang sama. Profesi nabi Idris adalah tukang jahit dan nabi Daud adalah tukang besi pembuat senjata. Jika kita ingin mencontoh mereka maka yakinkan diri kita juga telah mempunyai profesi dan semangat bekerja keras.

Profesi yang dikembangkan di lingkungan kita seperti profesi dosen, profesi verifikator keuangan, profesi ahli hukum, profesi laboran, profesi administratur, profesi supir, dan lainnya merupakan profesi yang harus kita kerjakan untuk kemaslahatan masyakat banyak. Satu langkah setelah meyakini memiliki profesi maka wajib hukumnya kita untuk bekerja keras. InsyaAllah kita akan dilimpahkan rezeki yang halal sekaligus pahala atas ibadah pekerjaan yang kita lakukan.

Oleh karena itu, melengkapi bekerja keras dan profesional adalah praktek bersikap dan berperilaku mencontoh Rasulullah yaitu bersifat siddiq, fathanah, amanah dan tabligh agar kita diberikan keselamatan dunia dan akhirat. Sifat siddiq adalah dapat dipercaya dan jujur. Sifat fathanah adalah harus pintar. Sifat amanah adalah melaksanakan tugas yang dibebankan dan tabligh adalah mampu melakukan komunikasi yang baik.

Wujud dari kita bekerja selain mendapat rezeki halal adalah pengakuan dari lingkungan atas prestasi kerja kita. “Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil dan siapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarga maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza Wajalla (H.R. Ahmad).

Halal lifestyle
Allah berfirman: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Al Baqarah: 168)

Allah memerintahkan setiap muslim untuk memakan makanan yang bukan cuma halal, tapi juga baik (halalan thayyiban). Perintah ini bukan tidak mempunyai tujuan, bahkan perintah ini disejajarkan dengan bertaqwa kepada Allah. Dalam surat al Maidah; 88, Allah mengatakan “dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya”.

Manfaat memakan makanan halal lagi baik bagi tubuh manusia disamping memberikan efek kesehatan dan vitalitas bagi tubuh, makanan halalan thayyiban juga mempengaruhi pembentukan karekater manusia untuk menjadi orang yang produktif dalam bekerja dan beramal shaleh.

Disinilah keterkaitan antara makanan halalan thayyiban dengan taqwa. Makanan halal bukan berarti hanya dilihat dari zatnya saja seperti keharaman zat yang terdiri babi, anjing, darah dan hewan yang disembelih tanpa membaca basmalah, akan tetapi juga dilihat dari sumber bagaimana cara mendapatkan makanan halal. Kalau sumber dan cara pendapatan itu haram seperti seperti harta yang didapat dari korupsi, mencuri, merampok, menipu dan praktek riba, maka makanan yang dimakan pun meski sebetulnya halal, tetap menjadi haram. Begitu pula dengan kualitas barang, makanannya halal seperti ikan akan tetapi tidak lagi baik karena sudah dicampur dengan borax, pewarna atau dimasukkan penyedap yang berbahaya bagi kesehatan, maka ikan tersebut tidak baik untuk dikosumsi karena merusak kesehatan.

Sebagai seorang muslim, halal menjadi gaya hidup penting dalam memberikan berbagai keputusan.

Orientasi untuk Ibadah
Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa tujuan diutusnya Rasulullah SAW kepada manusia hanyalah untuk memperbaiki akhlak. Demi tujuan inilah, Rasulullah SAW memperjuangkan Islam dengan berseru kepada manusia untuk berbuat yang baik (ma'ruf) dan melarang perbuatan keji (mungkar).

Shalat, zakat, puasa, dan haji hanyalah ritual ibadah wajib, namun sesungguhnya merupakan sarana menuju perbaikan akhlak sesuai misi Rasulullah SAW di atas. Maka, sungguh naif seorang Muslim yang sudah melaksanakan ibadah tersebut, tapi perilakunya masih jauh dari nilai-nilai Islami.

Misalnya berbohong menjadi kebiasaannya. Bahkan, korupsi masih dianggap hal yang sepele. Keislamannya hanya terlihat di dalam masjid. Di luar masjid, setelah melaksanakan shalat, nilai-nilai Islam itu mulai ditinggalkan. Di sinilah masalahnya.

Jika seorang Muslim tidak mempunyai orientasi yang jelas dari semua ibadah yang dilakukan, ia tidak akan pernah merasakan manisnya ibadah itu sendiri. Ia masih menganggap ibadah sebagai formalitas ritual semata. Kalau dikerjakan, ia mendapat pahala dan kalau ditinggalkan, ia mendapat dosa.

Allah SWT berfirman, ''Hai, orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.'' (QS Albaqarah [2]: 183).

Bagian terakhir ayat di atas menyebutkan, ''..agar kamu bertakwa.'' Artinya, orientasi sesungguhnya dari ibadah puasa adalah menjadi orang yang bertakwa. Dan, orientasi ini tidak terbatas pada ibadah puasa semata, tapi semua ibadah lainnya. Jadi, bisa disimpulkan bahwa perbaikan akhlak dan menjadi orang yang bertakwa adalah dua orientasi utama dari semua ritual ibadah.

Sebagai umat Islam, kita harus mengiringi kedua orientasi itu dalam setiap ibadah. Inilah gaya hidup seorang muslim.

Kedua, Gaya hidup dari sisi Internal.
Allah SWT berfirman dalam Quran surah Al A’raf 26

Artinya: Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.

Berbicara mengenai kronologis kisah dianugerahkannya pakaian oleh Allah kepada Bani Adam dalam ayat ke-26 surat Al-A’raf sebenarnya tidak terlepas dari ayat 19-22 dan 26-28 dalam surat tersebut.

Akan tetapi, dalam kesempatan kali ini, khatib akan mempersempit ruang lingkup penafsiran, yaitu ayat 26 saja.
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan…

Sayyid Quthb menuliskan dalam bukunya, Kata libas terkadang digunakan untuk arti sesuatu yang menutupi kemaluan, dan itu berarti pakaian dalam. Al-Maraghi justru menggabungkan kata libaasuttaqwaa dan mengartikannya sebagai baju-baju besi, rompi-rompi besi, topi baja atau lainnya yang dipakai untuk melindungi diri dari perang.

Sementara kata risyan terkadang berarti sesuatu yang digunakan untuk menutupi tubuh dan berdandan dan itu berarti pakaian luaran. Sebagaimana kata risyan digunakan untuk arti kehidupan yang nyaman, nikmat, dan harta benda.

Sedangkan Al- Maraghi juga memberti arti kata risyan yang tidak terlalu berbeda, yaitu sebagai pakaian harian maupun hiasan.

Ibnu Katsir menulis dalam buku tafsirnya,” Pakaian untuk menutupi aurat yaitu perkara yang dianggap buruk bila terlihat. Perhiasan ialah perkara untuk keindahan lahiriah. Yang pertama merupakan kebutuhan primer dan yang kedua sebagai kebutuhan sekunder”.

Sayyid Quthb menafsirkan,”seruan untuk menutup aurat dengan pakaian merupakan nikmat Allah kepada manusia. Allah mengajari, memudahkan, dan mensyari’atkan pada mereka pakaian untuk menutup aurat yang terbuka. Fungsi lain adalah sebagai hiasan dan keindahan, menggantikan pemandangan buruk ketelanjangan”.

DDalam bukunya, Ibnu Katsir menulis, “Para mufassir berikhtilaf mengenai makna penggalan ini. Akramah berkata bahwa pakaian takwa ialah busana yang dipakai oleh orang-orang takwa pada hari kiamat. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.

Ada pula yang mengartikannya sebagai pakaian keimanan atau sholeh atau tanda kebaikan di wajah. Semua pengertian tersebut hampir sama maknanya. Sayyid Quthb menafsirkan penggalan ayat tersebut, “Abdur Rahman bin Aslam berkata,”Bertakwa kepada Allah lalu menutup auratnya, dan itulah pakaian takwa”.

Ada korelasi antara pensyari’atan pakaian oleh Allah untuk menutup aurat dan perhiasan dengan takwa. Keduanya sama-sama pakaian. Takwa menutup aurat hati dan menghiasinya, sementara pakaian menutup aurat tubuh dan menghiasinya. Hubungan keduanya sangat lekat. Jadi, dari perasaan takwa dan malu kepada Allah lahir penilaian buruk terhadap ketelanjangan tubuh dan rasa malu terhadapnya. Barangsiapa tidak malu dan tidak bertakwa kepada Allah, maka ia tidak peduli apakah telanjang atau mengajak telanjang, telanjang dari rasa malu dan takwa serta telanjang dari pakaian dan membuka aurat.

Dalam Tafsir Al-Maraghi disebutkan, bahwa pendapat para mahsyur dari para tabi’in ialah bahwa yang dimaksud Libasut-taqwa ialah pakaian ma’nawi, bukan pakaian kongkrit. Pakaian yang terbaik adalah Libasut-taqwa atau pakaian takwa yang berarti iman dan amal shaleh karena iman dan amal shaleh itu lebih baik dari perhiasan-perhiasan pakaian.

Pakaian taqwa, bisa kita dapatkan penjelasan dalam surah Ali Imran 133-136. Allah jelaskan kriteria pakaian taqwa;

Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.

Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Tholaq bin Habib rahimahullah mengatakan, Takwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah, di atas cahaya dari Allah (yaitu di atas ilmu) dengan harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah dan engkau menjauhi maksiat atas cahaya dari Allah (yaitu di atas ilmu) karena takut akan ’adzab Allah. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 211).

Pakaian taqwa yang dipakai oleh muslim yang rindu dengan syurga Allah adalah pertama;  bersegera bertaubah ketika mereka melakukan kesalahan. Kedua; Gemar Berinfak, yaitu orang-orang yang banyak berinfak dalam keadaan susah maupun mudah, lapang atau sempit, senang maupun sulit, sehat ataupun sakit dan dalam segala kondisi.

Jika dalam keadaan mudah dan kelebihan mereka berinfak, begitu juga dalam keadaan sempit (susah), mereka tetap berinfak walaupun sedikit. Ketiga; Menahan Amarah Orang yang bertakwa ini adalah orang yang menahan amarah.

Apabila ada yang menyakitinya, maka normalnya manusia, dalam hatinya akan dongkol, dan akan membalas dengan kata-kata maupun perbuatan. Inilah kebiasaan orang ketika disakiti. Namun gaya hidup orang yang bertakwa yang akan dijanjikan memasuki surga Allah akan menahan hatinya dari amarah, berusaha untuk sabar walaupun telah disakiti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bergelut. Namun, orang yang kuat adalah yang pandai menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

 “Kemarahan itu akan mengumpulkan seluruh kejelekan.” (HR. Ahmad. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shohih Targhib wa Tarhib)
Keempat; Memaafkan Orang Lain Termasuk dalam memaafkan orang lain adalah memberi maaf kepada semua orang yang telah menyakiti dengan perkataan dan perbuatan.

Memaafkan orang lain ini lebih utama dari menahan amarah karena memaafkan orang lain berarti tidak balas dendam terhadap orang yang telah menyakiti dan bermurah hati kepadanya.

Rasulullah bersabda;

”Tiga hal yang Allah bersumpah dengannya : [1] Harta tidaklah berkurang dengan shodaqoh, [2] Tidaklah Allah menambahkan kepada orang yang memberi maaf kecuali kemuliaan, [3] Barangsiapa yang tawadhu (rendah diri) karena Allah maka Allah akan meninggikan (derajatnya).” (HR. Tirmidzi, Lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Ramadhan mendidik kita untuk merubah pola hidup kita menjadi lebih baik. Kita bukan hanya mulia dengan status pakaian luar kita, akan tetapi kita perlu mengasah pakaian taqwa kita, pakaian spritual kita.

Kita akan mulia jika kita mempunyai keindahan spritual yang mendorong lahirnya performan fisik yang lebih baik. Percuma pakaian luar kita indah tapi akhlak kita busuk dan berbau. Semoga Allah berkahi ramadhan kita dan kehidupan kita pasca Ramadhan ini.*Dhi

Oleh : Dr. H. Muhammad Yasir Yusuf, MA
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Ini Dia, Dua Model Gaya Hidup Seorang Muslim

Terkini

Topik Populer

Iklan