SAYA benar-benar terkesimana mendengar cerita seorang kolega sekaligus sahabat, Dr Briliantono, SpOT seorang dokter ahli tulang rawan sendi, saat menceritakan pengalamannya berpuasa Ramadhan tahun ini di London, Inggris.
Selama sepekan, mulai awal Ramadhan, Dokter Toni demikian kolega saya ini biasa disapa, mengikuti konggres kedokteran di negeri Pangeran Charles tersebut.
Ia bercerita, menjalani puasa di sana, terbilang tidak ringan. Waktu puasanya, mulai dari Sahur hingga berbuka, cukup panjang, sekitar 19 jam. Sahur mulai jam 3 pagi dan berbuka puasa sekitar jam 22.00 (jam 10 malam). Saat ini, jumlah masjid di seluruh kota London sebanyak 50 buah. Dari hotel tempatnya menginap di London, Dokter Toni kudu berjalan dulu dan naik train (kereta) sebelum sampai ke masjid terdekat.
Jumt pertama Ramadhan tahun ini, ia berkesempatan menjalani shalat di salah satu masjid besar di London. Jauh sebelum waktu shalat Jum’at tiba, kaum Muslimin sudah memadati masjid. Di dalam dan pelataran masjid, berbagai kegiatan ibadah dilakukan para jamaah.
Sebagian melakukan shalat sunnah, yang lainnya tilawah dan mengkaji Qur’an, sebagian lainnya berzikir dan ada juga yang sibuk memperdalam ilmu dengan membaca buku-buku keislaman.
Beberapa saat sebelum shalat Jumat, masjid sudah dipadati oleh jamaah yang berasal dari berbagai tempat, bahkan mereka meluber hingga mengisi di taman-taman sekeliling masjid.
Dua tahun yang lalu, Dr Tony pernah juga berkunjung ke London. Namun, sangat berbeda di tahun ini, perempuan Muslimah yang mengenakan busana Muslim dan berjilbab banyak dijumpai di kota London. Di kereta, di bus, di mall, kampus dan di sudut-sudut kota London, sudah lazim dijumpai Muslimah yang mengenakan jilbab, tak jauh beda dengan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Subhanallah, saya tak kuasa menahan haru. Antara sedih dan gembira, bercampur baur. Alangkah beratnya menjadi Muslim di negeri Inggris, termasuk juga di negeri-negeri Barat yang notabene minoritas Muslim. Karena kondisi lingkungan, kecurigaan yang terlalu berlebih terhadap Islam dan umatnya, terlebih lagi fasilitas ibadah yang relatif terbatas, kaum Muslimin harus berjuang keras mempertahankan iman dan menjalankan ibadah.
Namun, keterbatasan fasilitas dan dukungan tersebut, tenyata tidak lantas membuat mereka cepat menyerah dan berputus atas. Malah sebaliknya, hal itu justru menjadi pemicu dan tantangan bagi mereka agar lebih bersungguh-sungguh lagi dalam menimba ilmu Islam, menjalani ibadah dan perintah Allah SWT dan meneladani perjuangan Rasulullah Saw. Tidak memandang latar belakang dan etnis, saling tolong menolong dalam bingkai ukhuwah juga begitu terasa antar Muslim di sana.
Ternyata berbagai intimidasi, celaan, stigmatisasi negatif yang relatif tidak kecil yang acap kali dialamatkan ke Islam dan kaum Muslimin selama ini, tidak lantas membuat mereka mundur memeluk Islam.
Keimanan kepada Allah SWT, kepercayaan kepada ajaran Islam dan tuntunan Rasulullah Saw ternyata lebih mereka pegang teguh ketimbang stigmatisasi negatif Barat yang kerap memendam curiga kepada Islam tersebut.
Boleh jadi, lantaran kelembutan dan akhlak mulia yang ditunjukkan kaum Muslimin London dan Inggris pada umumnya tersebut, tidak mengherankan bila berbondong-bondong warga negara Inggris tertarik mempelajari Islam dan akhirnya memeluk Islam. Bahkan, tidak sedikit pula dari mereka yang kini berhasil masuk dan menempati pos-pos penting di pemerintahan Inggris.
Sadiq Khan adalah salah satu sosok Islam yang kini menduduki posisi strategis sebagai Walikota London. Dan Sadiq tercatat sebagai walikota Muslim pertama di London. Saat pemilihan beberapa waktu lalu, Sadiq yang dimajukan dari Partai Buruh ini mendapat dukungan warga London dan berhasil mengalahkan saingan terberatnya dari Partai Konservatif Zac Goldsmith.
Sosok muslim Inggris lainnya adalah Moazzam Malik yang kini menjadi Duta Besar Inggris di Indonesia. Malik tercatat sebagai orang Islam pertama yang menjadi Duta Besar Inggris di Indonesia.
Tidak semata-mata karena Indonesia negeri mayoritas Muslim terbesar di dunia Malik ditempatkan di Indonesia. Tapi karena kredibilitas dan integritasnya selama inilah pemerintah Inggris menunjukkan Malik menjadi Dubes di Indonesia.
Malik memiliki catatan karier panjang di pemerintahan Inggris. Di luar pemerintahan, dia sempat bekerja sebagai konsultan ekonomi untuk klien korporasi Inggris, termasuk Bank Dunia, peneliti, penasihat kebijakan moneter dan devisa di Bank Sentral Uganda, menjalankan bisnis produksi mesin dan LSM regenerasi perkotaan di London.
Selain dua sosok Muslim mumpuni di atas itu, masih banyak lagi Muslim yang bisa survive berkiprah dan berkontribusi positif di Inggris, baik di jalur pemerintah maupun swasta karena keprofesionalan, integritas dan kredibilitas mereka yang baik mereka tersebut.
Saat membincangkan soal ini, seorang sahabat saya lainnya Mas Tommy Tamtomo, beliau mantan Pemred dan Direktur Harian Republika, mengatakan tidak terlalu heran dengan fenomena Muslim di London dan Inggris pada umumnya, bahkan juga di Eropa umumnya saat ini. Beberapa waktu lalu, Mas Tommy juga baru liburan berkeliling Eropa dan takjub dengan perkembangan Islam di negeri Eropa tersebut.
“Perkiraan saya dua generasi lagi, jumlah Muslim di London akan sama dengan jumlah non Muslim,” ujar Mas Tommy, penuh harap.
Dan bila umat Islam yang besar ini bisa satu kata, rasa dan jalan saling tolong menolong dalam bingkai ukhuwah. Bukan sekadar ukhuwah-ukhuwahan yang manis di lisan saja, namun benar-benar ukhuwah dalam kehidupan nyata.
Pemilukada DKI Jakarta yang akan berlangsung 2017 nanti akan menjadi pembuktian apakah umat Islam yang besar ini bisa satu kata, satu rasa dan jalan dalam bingkai ukhuwah. Wahai kaum Muslimin, buktikanlah kekuatan ukhuwah tersebut di Pemilukada DKI Jakarta 2017. (Rivai Hutapea | Majalah Oase)