Banda Aceh - Kita hidup di zaman yang memuja kesibukan. Setiap hari linimasa media sosial menampilkan pencapaian orang lain: sidang skripsi cepat, lulus cumlaude, ikut organisasi, buka bisnis, bahkan aktif jadi content creator. Lalu, tanpa sadar kita ikut terjebak dalam kalimat paling menekan di era digital:
“Kalau
orang lain bisa sesibuk itu, kenapa aku enggak?”
Dari
situlah lahir fenomena yang disebut “hustle culture” budaya yang menjadikan
“sibuk” sebagai ukuran kesuksesan, dan “istirahat” sebagai tanda kemalasan.
Apa
Itu Hustle Culture?
Secara sederhana, hustle culture adalah gaya hidup yang menormalisasi kerja terus-menerus tanpa jeda. Kita didorong untuk terus aktif, terus produktif, dan terus mencapai sesuatu, bahkan ketika tubuh dan pikiran sudah lelah. Contohnya mudah ditemukan:
- Mahasiswa yang ikut semua organisasi agar “terlihat aktif”.
- Freelancer yang kerja sampai tengah malam demi “ngejar target”.
Budaya
ini muncul karena tekanan sosial dan media digital yang membuat kita selalu
membandingkan diri. Kita merasa kalau tidak sibuk, berarti kita tertinggal.
Padahal, tidak semua kesibukan berarti produktifitas. Kadang, kita sibuk karena
takut merasa gagal. Sibuk karena takut menghadapi diri sendiri.
Menjadi
produktif bukan berarti harus terus bekerja tanpa henti. Produktif berarti
mampu menghasilkan sesuatu yang bermakna, entah itu ide, karya, atau perubahan
kecil dalam diri. Orang yang produktif tahu kapan harus maju, kapan harus
berhenti. Sedangkan orang yang terjebak hustle culture merasa bersalah setiap
kali beristirahat.
Jadi,
pertanyaannya bukan “Seberapa sibuk kamu hari ini?”
Tapi:
“Apakah kesibukanmu hari ini membuatmu lebih bermakna, atau hanya lebih lelah?”
Banyak
mahasiswa yang tanpa sadar mulai kehilangan arah karena terjebak dalam hustle
culture. Tubuh lelah, hati jenuh, tapi tetap memaksa diri karena takut dianggap
tidak berambisi. Fenomena ini bahkan sudah menimbulkan istilah baru di dunia
psikologi modern: Burnout, yaitu kondisi kelelahan mental dan
emosional akibat tekanan berlebihan. Dan ironisnya, sebagian orang masih
menyebut burnout sebagai “tanda perjuangan.” Padahal, produktif tidak harus
berarti menyiksa diri. Beristirahat juga bagian dari tanggung jawab terhadap
amanah tubuh dan pikiran.
Dalam
Islam, konsep produktivitas sejati bukan hanya tentang kerja keras, tapi juga
menjaga keseimbangan. Rasulullah ﷺ
bersabda:
“Sesungguhnya
tubuhmu punya hak atasmu, matamu punya hak atasmu, dan keluargamu punya hak
atasmu.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengajarkan manusia untuk bekerja tanpa henti, tetapi untuk menyeimbangkan antara dunia dan akhirat, antara usaha dan ketenangan. Bekerja keras itu mulia, tapi jika mengabaikan diri sendiri, maka kehilangan keberkahan. Karena dalam Islam, niat dan keseimbangan lebih utama daripada ambisi tanpa arah.
Refleksi
Diri: Produktivitas sejati bukan diukur dari seberapa banyak kita lakukan, tapi
seberapa tulus kita menjalaninya. Berani berhenti bukan berarti malas, kadang
itu justru tanda dewasa dan sadar arah. Jadi, sebelum kita bangga karena selalu
sibuk, mari tanya pada diri sendiri:
“Apakah
aku benar-benar tumbuh, atau hanya terus berlari tanpa tahu mau ke mana?”
Istirahatlah
sejenak, hirup napas, dan sadari bahwa hidup bukan perlombaan. Karena
sejatinya, menjadi produktif adalah tentang menumbuhkan diri, bukan
menghabiskannya. [Aida Rizkany Ash-Shofa]