Iklan

Iklan

Menjelajahi Kekayaan Lobster di Simeulue

5/02/25, 23:38 WIB Last Updated 2025-05-02T23:51:02Z




Banda Aceh- Kondisi geografis Kabupaten Simeulue yang terletak di Samudera Hindia menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai salah satu sumber utama penghasilan masyarakat, selain sektor pertanian dan perkebunan. Berdasarkan data Statistik Perikanan Kabupaten Simeulue tahun 2014, tercatat sebanyak 3.474 jiwa bekerja sebagai nelayan. Alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah perahu motor berukuran kurang dari 3 GT, dengan jumlah mencapai 1.841 unit. Para nelayan di Simeulue umumnya melakukan penangkapan di sekitar pantai, pulau-pulau kecil, dan gosong laut dengan jarak tempuh antara 2 hingga 4 mil laut. Hasil tangkapan utama berupa ikan karang seperti kerapu, kakap, teripang, dan lobster.


Potensi Ekonomi Lobster Simeulue

Perairan Kepulauan Simeulue termasuk dalam wilayah penyebaran ikan karang bernilai ekonomis tinggi di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 572 yang mencakup seluruh pantai barat Sumatera. Kondisi ini menjadikan wilayah Simeulue menarik bagi nelayan dari berbagai daerah untuk melakukan penangkapan. Salah satu komoditas laut unggulan di Kabupaten Simeulue adalah lobster—dikenal juga sebagai udang barong, atau dalam bahasa lokal disebut lahok atau lahuak.


Lobster memiliki nilai jual yang tinggi, yakni berkisar antara Rp150.000 hingga Rp350.000 per kilogram pada tahun 2015. Meski jumlah tangkapannya tidak mencapai 1% dari total hasil laut, nilai ekonominya menyumbang sekitar 5% dari total produksi perikanan. Angka ini merupakan yang tertinggi di antara seluruh komoditas laut lainnya (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue).


Tantangan dalam Pengelolaan

Pemerintah telah berupaya mengatasi kondisi overfishing (tangkap berlebih), salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2015 tentang penangkapan lobster, kepiting bakau, dan rajungan. Aturan ini melarang penangkapan lobster dengan ukuran karapas kurang dari delapan sentimeter serta lobster yang sedang bertelur.


Sayangnya, implementasi peraturan tersebut di Simeulue masih menemui kendala. Banyak nelayan belum mematuhinya, terbukti dari masih ditemukannya lobster berukuran kecil di tempat penampungan dan pembeli. Rendahnya kualitas sumber daya manusia—baik dari sisi ekonomi, pendidikan, maupun keterampilan—menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan kurangnya kesadaran dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku.


Tingginya nilai ekonomi lobster juga mendorong praktik penangkapan yang tidak ramah lingkungan, seperti pengambilan lobster bertelur, penggunaan bahan kimia seperti potasium sianida, hingga perusakan ekosistem karang untuk memudahkan penangkapan. Dorongan ekonomi membuat sebagian nelayan mengabaikan fakta bahwa ukuran tangkapan lobster terus mengecil dari waktu ke waktu. Bahkan jika disadari, banyak yang tetap tidak mengubah cara mereka menangkap.


Upaya Pelestarian dan Keberlanjutan

Pengelolaan lobster yang bijak memerlukan pendekatan menyeluruh—tidak hanya dari sisi biologi, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi. Upaya seperti penetapan ukuran minimum tangkapan, pembatasan jumlah alat tangkap, dan pengurangan volume produksi perlu diterapkan agar stok lobster tetap terjaga. Hal ini akan mendukung kelangsungan populasi lobster, terutama yang sedang dalam masa pemijahan.


Penanganan kondisi tangkap lebih sangat bergantung pada kesadaran para pemanfaat sumber daya—dalam hal ini nelayan dan masyarakat pesisir. Oleh karena itu, strategi pengelolaan perikanan lobster harus berbasis kondisi nyata di lapangan dan melibatkan semua pihak terkait. Pendekatan ini meliputi edukasi nelayan tentang prinsip keberlanjutan, kajian terhadap pelaksanaan praktik tangkap berkelanjutan, serta pemahaman mendalam tentang kondisi sosial dan ekonomi nelayan lobster di Simeulue.


Penutup

Lobster Simeulue merupakan kekayaan laut yang bernilai tinggi. Jika dikelola secara bijak dan berkelanjutan, potensi ini tidak hanya dapat menjadi sumber kesejahteraan jangka panjang bagi masyarakat lokal, tetapi juga dapat menjadi contoh sukses pengelolaan sumber daya laut berbasis kearifan lokal.


Penulis: Givtia Ananda

Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Menjelajahi Kekayaan Lobster di Simeulue

Terkini

Topik Populer

Iklan