Iklan

Iklan

Jejak Komunis Jadi Universitas di Malaysia, Konflik Aceh Pun Selayaknya Diabadikan

5/02/25, 23:13 WIB Last Updated 2025-05-02T16:13:22Z

Dari kiri ke kanan: Fatra Turhamun, Hasan Basri, Tarmizi A. Hamid, dan Muhammad Agil (Foto: Ist)

Universiti Utara Malaysia (UUM) adalah salah satu institusi pendidikan tinggi terkemuka di Malaysia yang resmi berdiri pada 16 Februari 1984. Dikenal sebagai universitas keenam yang didirikan di negeri jiran tersebut, UUM memiliki sejarah unik dan menarik yang tidak banyak diketahui orang.


Pembangunan UUM dimulai sejak tahun 1981, dan pada tahun 1988 kampus ini melaksanakan wisuda perdananya.


Pada 19 Oktober 1983, Sultan Kedah saat itu, Tuanku Alhaj Abdul Halim Mu’adzam Shah Ibni Almarhum Sultan Badlishah, dilantik sebagai Canselor pertama UUM, yang juga berfungsi sebagai simbol kepemilikan kampus. Dalam sistem pendidikan tinggi Malaysia, Canselor biasanya merupakan seorang tokoh kerajaan yang menjabat secara seremonial.


Sementara itu, pelaksanaan operasional kampus dijalankan oleh Naib Canselor, atau yang dalam sistem Indonesia setara dengan rektor. Naib Canselor pertama UUM adalah Prof. Tan Sri Dato’ Awang Had Salleh, seorang akademisi terkemuka di Malaysia.


Dalam kunjungan akademik mahasiswa KPM-PKM Internasional Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Hasan Basri, mahasiswa program doktoral UUM, mengungkapkan bahwa lokasi pembangunan UUM dahulu merupakan markas besar Partai Komunis Malaya (PKM).


“Asal muasal kampus ini adalah untuk menghapus jejak Partai Komunis Malaysia. Dulu, tempat ini adalah markas mereka. Maka, untuk menghilangkan sisa-sisa sejarah kelam itu, dibangunlah Universiti Utara Malaysia di atas tanah ini,” ungkap Hasan Basri saat ditemui Fatra Turhamun dan Muhammad Agil di Library Sultanah Bahiyah, UUM Sintok, Kedah, pada Selasa (29/4/2025).


Dalam lawatan tersebut, para mahasiswa juga mengunjungi Mezium Pengurusan UUM, museum sejarah yang berada di dalam lingkungan kampus. Museum ini menjadi saksi bisu berbagai fase sejarah Malaysia, mulai dari era kolonial Portugis, Belanda, Inggris, hingga pendudukan Jepang. Di dalamnya juga terdapat koleksi foto-foto raja dan tokoh nasional, serta artefak penting seperti kendaraan bermerek Modenas dan mobil Proton.


Tak hanya itu, pengunjung juga dapat melihat beragam pakaian adat Melayu, busana kerajaan, hingga profil tokoh-tokoh Islam dan pejabat yang berjasa dalam pendirian kampus ini.


Yang menarik, Museum UUM ini dikelola langsung oleh pihak kampus, bukan oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan keseriusan universitas dalam merawat nilai-nilai sejarah, budaya, dan identitas nasional.


Melihat keseriusan Malaysia dalam mendokumentasikan sejarah, Hasan Basri membandingkan dengan kondisi di Indonesia, khususnya di Aceh, daerah yang mengalami konflik bersenjata selama lebih dari 30 tahun.


“Di Aceh, kita mengalami konflik panjang, tapi belum ada museum perdamaian. Padahal museum seperti ini penting agar generasi muda, terutama pelajar SMA, tahu bahwa kita pernah mengalami masa kelam yang memakan banyak korban,” ujar Hasan Basri saat menyusuri ruangan demi ruangan museum.


Ia menambahkan, banyak narasi tentang konflik Aceh yang perlahan mulai hilang dari ingatan kolektif masyarakat.


“Cerita tentang konflik Aceh mulai memudar. Sekarang kalau kita ingin memperkenalkan sejarah itu ke mahasiswa, di mana tempatnya? Museum Tsunami ada, tapi museum perdamaian tidak ada. Seharusnya Aceh memiliki Museum Tsunami, Museum Perdamaian, dan juga Museum Aceh yang mewakili kekayaan budaya dan perjuangan rakyatnya,” pungkas Hasan Basri. []

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Jejak Komunis Jadi Universitas di Malaysia, Konflik Aceh Pun Selayaknya Diabadikan

Terkini

Topik Populer

Iklan