WASATHA.COM, YERUSALEM - Selama beberapa hari terakhir, ratusan warga Palestina terluka dan ditahan oleh otoritas Israel, memicu serangkaian bentrokan di kota suci Yerusalem.
Pemicu eskalasi terbaru ini ialah instruksi otoritas pendudukan yang membatasi perkumpulan warga Palestina di Gerbang Damaskus serta upaya untuk mengevakuasi warga Palestina dari rumah mereka di area permukiman Sheikh Jarrah.
Abd-Allah Marouf, seorang guru Sejarah Islam di Universitas 29 Mayis University Istanbul mengatakan ekstremis di Israel memanfaatkan posisi genting Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan keinginannya untuk tetap berkuasa.
“Pendudukan Israel mungkin tidak menginginkan eskalasi. Namun, akibat ambisi politik kelompok ekstremis di Sheikh Jarrah, Gerbang Damaskus, dan kompleks al-Aqsa, pada akhirnya ini terjadi," ujar dia.
Dia mengatakan kelompok ekstremis berupaya mengambil alih Sheikh Jarrah, Gerbang Damaskus, dan al-Aqsa, yang berarti mengubah status quo di kota itu.
Marouf mengklaim bahwa media Israel menggambarkan unjuk rasa Palestina sebagai kerusuhan. Namun mereka gagal karena kaum muda menggunakan platform media sosial untuk mempublikasikan fakta.
“Media Israel berupaya menyebarkan informasi yang salah. Ini adalah upaya untuk mengelabui warga Palestina dengan ilusi bahwa polisi tidak akan membiarkan ekstremis melanjutkan provokasi,” tambah dia.
Ketegangan meningkat di Sheikh Jarrah sejak pekan lalu setelah pengadilan Israel memerintahkan penggusuran orang-orang Palestina dari area permukiman itu.
Sejak Jumat, pasukan Israel terus melancarkan serangan tanpa henti yang melukai 200 warga Palestina yang sedang salat di Masjid Al-Aqsa - situs tersuci ketiga bagi Muslim - dan di Sheikh Jarrah, permukiman di utara Kota Yerusalem.
Titik konflik
Area permukiman tersebut telah menjadi titik konflik antara warga Palestina dan pemukim Yahudi sejak 1948, bahkan sebelum kota itu diduduki militer Israel pada 1967.
Pasalnya, Israel ingin menambah 200 unit permukiman di daerah tersebut.
Di pintu masuk Sheikh Jarrah, penghalang jalan telah dipasang. Polisi mengizinkan para pemukim bersenjata untuk bergerak bebas, tetapi mereka tidak mengizinkan orang Palestina yang tidak bersenjata untuk memasuki daerah tersebut.
“Pasukan pendudukan yakin menjaga area dengan cara seperti itu sudah cukup untuk menenangkan para pemukim. Keangkuhan mereka itu mengarah pada kekerasan orang-orang Palestina di Sheikh Jarrah, Gerbang Damaskus, dan kompleks al-Aqsa," kata sejarawan dan sosiolog Khaled Odehtallah.
Pada Senin pagi, pasukan Israel yang bersenjata berat menyerbu kompleks Masjid al-Aqsa.
Mereka menembakkan peluru berlapis karet, gas air mata, dan granat kejut ke arah warga Palestina hingga melukai lebih dari 300 orang.
“Kompleks al-Aqsa dan Gerbang Damaskus merupakan tempat berkumpulnya muda-mudi Palestina. Pasukan pendudukan berupaya menekan kehadiran mereka,” tambah dia.
Otoritas Tepi Barat melarang protes
Di wilayah Tepi Barat, Otoritas Palestina (PA) menghentikan sejumlah unjuk rasa yang menyatakan dukungan ke Yerusalem dan Gaza.
Dalam sebuah pernyataan, PA mengutuk kekerasan Israel dan membatalkan perayaan Idulfitri. Namun, sejauh ini tidak ada tindakan serius dari PA untuk mendukung massa yang marah.
“Sikap PA konsisten dengan kebijakan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebelumnya. Jadi, kami tidak dapat mengharapkan seruan dari kepemimpinan saat ini,” kata Bilal Shobaki, profesor di Universitas Hebron.
Menurut dia, PA bersikeras bahwa mereka memiliki peran fungsional sebagai penjamin untuk menstabilkan situasi di Tepi Barat dan untuk menjaga hubungan dengan otoritas pendudukan dalam kerangka saluran komunikasi yang disepakati. [Salam Abu Sharar | sumber; Anadolu Agency]