Sejak pertama menikah, pasangan Abu Bakar (80) dan Umi Khadijah (77) menjadikan pekerjaan ini sebagai mata pencaharian utama untuk menghidupi keluarga. Kulit keriput yang termakan usia tak menghambat keduanya untuk terus menggeluti pekerjaan Meu Weng Keubeu
Abu Bakar dan Mak Jroe sedang memeras tebu dengan mesin tenaga kerbau [FOTO;Panyoet Serungkeng] |
KABUPATEN PIDIE menyimpan ragam pesona alam yang indah, di tanah kelahiran Teuku Chik Di Tiro ini juga dapat kita temui perangkat jadul untuk mengolah tebu menjadi air meulisan yang kental.
Meulisan adalah air tebu yang dimasak lama hingga mengental dan biasanya sering digunakan dalam berbagai makanan seperti lincah busu (rujak Aceh) yang sangat terkenal di Pidie.
Pengolahan tebu menjadi meulisan dilakukan dengan cara sangat tradisional, yaitu dengan mengandalkan seekor kerbau yang berputar menarik mesin penggiling.
Bergerak dari Kota Sigli perjalanan menghabiskan waktu sekitar 25 menit menuju ke sebuah desa, disepanjang perjalanan akan terlihat gubuk-gubuk gudang produksi garam, pemandangan perkampungan yang masih tampak asri dan hamparan sawah hijau serta irigasi menjadi teman perjalanan.
Di pemukiman Kambhuek, Desa Meunasah Kuthang, di sana terdapat tempat penggilingan tebu tradisional menggunakan tenaga kerbau yang disebut masyarakat setempat dengan nama “Keubeu Weng” .
“Keubeu weng atau meuweng keubeu” adalah sebutan masyarakat setempat untuk proses pemerah sari tebu yang nantinya akan dijadikan sebagai Meulisan.
Sejak pertama menikah, pasangan Abu Bakar (80) dan Umi Khadijah (77) menjadikan pekerjaan ini sebagai mata pencaharian utama untuk menghidupi keluarga. Kulit keriput yang termakan usia tak menghambat keduanya untuk terus menggeluti pekerjaan Meu Weng Keubeu.
Fajar menyising menjadi petanda bahwa pekerjaan harus segera dimulai, keduanya bergegas memanen tebu yang sudah siap untuk diperas esok harinya. Sementara Umi Khadijah yang kerab disapa Mak Jroe dengan sigap membantu mengangkat tebu-tebu yang sudah dipanen lalu menjemurnya.
Sudah menjadi rutinitas wajib bagi keduanya untuk memandikan kerbau di sungai sebelum melakukan pekerjaan “meu weng”. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar hewan yang sudah menemani mereka selama 5 tahun ini melakukan pekerjaannya sesuai arahan, rutinitas memandikan kerbau dilakukan sehari tiga kali.
Setelah dibersihkan kerbau terlebih dahulu diberikan asupan energi. Kemudian hewan memamah biak ini dipakaikan penutup mata dan tali kekang oleh Abu Bakar yang disambungkan ke mesin pemerah tebu. di sisi lain, Mak Jroe mengumpulkan kembali tebu yang sudah dijemur kemarin.
“Jika sudah dijemur seperti ini tebu sudah siap untuk diperas sarinya,” ucap Mak Jroe.
Setelah semuanya selesai, Mak Jroe mulai memasukkan satu persatu batang tebu dan memerintahkan kerbau untuk melakukan pekerjaannya.
“Jak laju meutuwah” (jalan terus kesayangan)," perintah Mak Jroe kepada hewan kesayangan yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri, lalu kerbau tersebut langsung bergerak seolah-olah memahami betul perintah dari majikannya ini.
Layaknya jarum jam yang sedang bekerja, kerbau mulai berkeliling dengan mata tertutup untuk memerah sari tebu, air tebu turun perlahan di tempat penampungan. Bila mana terdengar olehnya suara hentakan kaki manusia atupun kendaraan seketika kerbau berhenti untuk berkeliling, melihat hal tersebut Mak Jroe membimbing lagi si sumber mata rezekinya.
“Ooe kakapeugot lage, kajak ju meutuwah kajak laju (jangan bertingkah, berputarlah lagi)," ujar Mak Jroe sembari memasukkan tebu kedalam mesin penggiling.
Proses pembuatan meulisan
Setelah semua proses mulai dari mengumpulkan batang tebu, membersihkan dan memeras. Sari tersebut dituangkan ke dalam kuali berukuran besar yang telah diletakkan diatas tanah berbentuk tungku , mereka menggunakan bebrapa kayu dan ampas tebu untuk bahan bakar.
Api membesar membantu proses pemasakan, sari tebu kian mendidih senada dengan lihainya tangan Mak Jroe yang sibuk menarik beberapa ampas tebu yang belum disaring tadi menggunakan daun tebu yang bersih.
Proses pemasakan tebu berkisar sekitar 7 sampai dengan 8 jam, ketika air sudah mengental dan warna kian berubah kecoklatan, mereka memasukkannya ke dalam kaleng bekas kue.
Dari proses yang rumit sekaligus memakan waktu yang tidak sedikit, manisan hanya terkumpul satu kaleng mentega, satu kaleng meulisan dihasilakan dalam proses tiga dan dalam waktu sebulan mereka mengumpulkan 10 kaleng meulisan. Perkaleng dijual seharga Rp.350.000. hasil yang tebilang cukup membuat asap dapurnya mengepul.
“Kami menjualnya sekaleng Rp.350.000 kepada agen, rezeki ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Abu Bakar.
Di usianya yang telah senja, Abu Bakar dan Mak Jroe setia meu weng bersama kerbau
kesayangannya yang ia pelihara dengan telaten. Keube Weng milik Abu Bakar menjadi saksi terpeliharanya tradisi lokal di saat serbuan mesin teknologi pertanian semakin canggih menggeser mesin-mesin jadul.[]
*Tulisan ini dikirim oleh Komunitas Panyoet Serungkeng, mahasiswa KPI Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry yang memiliki hobi menjelajah lalu menuangkan semuanya ke dalam tulisan.