KETIKA menghadiri sebuah
acara, pernah tidak Anda tiba-tiba ‘ditodong’ disuruh mengaji dan memimpin doa
di depan umum? Sedangkan Anda belum pernah melakukannya. Jangankan di depan
umum, untuk sendiri saja masih terbata-bata.
Bagi seorang qari, itu sudah menjadi rutinitasnya dan bahkan sumber mata pencahariannya. Tapi bagi yang tidak expert (ahli) di bidang itu, justru seperti bencana besar menghampirinya.
Suatu ketika, saya menghadiri acara sosialisasi bahaya Narkoba yang dibuat oleh instansi pemerintah di sebuah hotel di Banda Aceh.
Saya datang sedikit
terlambat sekitar 30 menit dari jadwal yang sudah ditetapkan. Saya pikir acara
sudah dimulai, begitu saya tiba, peserta sudah memenuhi ruangan bermuatan 60
orang itu.
Rupanya acara belum mulai. Saya menuju ke meja pendaftaran peserta. Saya diminta tanda tangan pada lima rangkap. Kok, banyak sekali? Biasa, acara pemerintah kan ada amprah-amprahan gitu! He he.
Seorang ibu menghampiri saya. "Adik bisa ngaji? Acara belum mulai karena yang ngaji sampai sekarang belum datang, adik tolong ya!" pintanya penuh harap.
"Duh, Ibu, saya bisa ngaji, tapi tak pernah melakukannya di depan umum, belum terbiasa saya," tolak saya secara halus. "Tapi kan adik ini berjenggot?" timpal kawannya yang di samping.
Wah, saya terkejut.
Memang sih, sebagian orang memahami jenggot itu sebagai simbol orang yang alim,
apalagi ada sunnah memelihara rambut yang tumbuh di dagu tersebut. Namun saya
tak mau berdebat panjang dengan ibu itu bahwa Yahudi juga punya jenggot, malah
panjang-panjang lagi.
Setelah menolak permintaan panitia, saya mencari tempat duduk di antara kelompok laki-laki. Saya perhatikan panitia mulai panik.
Narasumber sudah
hadir, tapi acara belum mulai. Panitia mendekati satu-persatu peserta
laki-laki sembari menanyakan siapa yang mampu mengaji untuk pembukaan.
Sudah menjadi tradisi di Aceh, sebagai daerah yang menganut syariat Islam, apapun kegiatan yang sedikit formal, diawali dengan pengajian dan ditutup dengan doa. Kebiasaan ini dilakukan untuk memberkahi acara yang dilaksanakan.
Melihat panitia tadi 'bergerilya’ mencari orang yang bisa ngaji, saya mulai iba. Saya selaku pria yang tinggal di daerah berjulukan Serambi Mekkah itu merasa harga diri saya dipertaruhkan jika sampai di ruangan itu tak satu pun yang berani tampil ke depan untuk membaca ayat-ayat suci.
Akhirnya saya acungkan tangan. Raut wajah panitia mulai berseri kembali, sembari menanyakan nama saya untuk dipanggil oleh MC nantinya.
Kini giliran saya yang
panik, tidak ada Alqur'an satu pun. Saya coba buka aplikasi Aquran di android,
kebetulan android saya pun habis baterai.
Untung saja saya
pernah menghafal beberapa ayat pilihan dalam Alquran. Saya baca ayat di akhir
surat Albaqarah ayat 184-186 dengan gaya murattal.
Ayat ini sering dibaca
imam ketima shalat berjamaah. Saya pun membaca tanpa pakai teks Alquran atau
android.
Usai membaca, saya
kembali ke tempat duduk. Panitia meminta saya kembali untuk memimpin doa.
Alhamdulillah itu pun masih
saya ingat beberapa doa-doa yang diajarkan ketika masih ngaji di
balai pengajian di kampung masa kecil.
Singkat cerita, acara berjalan lancar. Panitia berterima kasih kepada saya karena telah menyelamatkan acara mereka.
Yang menariknya, di
ujung acara saya tidak hanya dapat uang akomodasi sebagai peserta, tatapi dapat
dobel honorarium karena telah mengaji dan memimpin doa. Aseeek.
Kejadian itu mengajarkan saya bahwa seorang laki-laki muslim yang lahir di Aceh itu harus memiliki minimal empat kemampuan (skill) dalam bermasyarakat.
1. Bisa Membaca Quran | Seorang pria muslim ber-KTP Aceh merupakan aib jika ketahuan tidak mampu
mengaji. Walaupun tak semahir para qari/qariah, minimal gaya tartil (membaca
dengan pelan) harus bisa.
Mengapa skill ini sangat perlu bagi laki-laki, selain anjuran agama Islam, juga sewaktu-waktu jika tiba-tiba diminta tolong seperti pengalaman saya di atas, maka kita mampu melakukannya. Apalagi di Aceh untuk mencalon diri baik sebagai kepala daerah maupun anggota dewan akan diuji kemampuan mangaji.
Uji baca Quran pun
bagi calon pejabat disiarkan langsung di televisi. Bisa dibayangkan jika tak
mampu sama sekali atau seperti kameng ek ateuh batee(kambing
bertatih di atas batu) akan menjadi buah bibir masyarakat bahwa si pulantak
bisa ngaji. Repot kan?
2. Memberi Ceramah | Berdiri di depan
khalayak memang bukan pekerjaan gampang. Apalagi belum terbiasa tiba-tiba
diminta menyampaikan sepatah dua kata. Kalau tidak siap, bisa berkeringat
dingin di atas panggung.
Namun skill ini
juga harus dimiliki oleh seorang laki-laki minimal Kultum atau tausiah singkat.
Tak perlu mahir beretorika, yang terpenting mentalnya harus dilatih dan
menyampaikan bahan dengan terstruktur.
Kesalahan bagi pemula
ketika berdiri di depan itu terburu-buru sehingga apa yang disampaikan tidak
jelas dan terkesan gugup. Sering kita perhatikan mereka yang gugup itu akan
bicara cepat-cepat karena berasumsi supaya cepat menyelesaikan tugasnya.
3. Jadi Imam Shalat | Mampu menjadi imam
shalat adalah hal mutlak bagi laki-laki. Skill yang satu ini
wajib dimiliki seorang pria Aceh, sebab kemampuan menjadi imam merupakan
lambang kepemimpinan.
Sejak dulu, Aceh
dikenal dengan fanatisme agama yang tinggi, sehingga bagi orang di luar Aceh
menganggap setiap orang Aceh itu memiliki ilmu agama yang baik. Tak jarang
ketika orang Aceh merantau, ia akan dipersilakan jadi imam shalat.
Begitu juga ketika ia
menikah, jika istrinya dari keluarga orang yang taat bergama, maka linto
baro (pengantin pria) akan diminta menjadi imam shalat oleh mertuanya.
Bayangkan saja jika
imam shalat saja tak mampu, maka akan dianggap tidak mampu menjadi ‘imam’
(pemimpin) bagi istri dan anak-anaknya nanti.
4. Memimpin Doa | Skill ini juga tak
kalah penting jika seorang pria memilikinya. Ketika ada acara-acara syukuran,
tiba-tiba diminta memimpin bacaan doa si pria tidak menolaknya.
Namun alangkah baiknya
lagi, jika pria itu mampu memimpin tahlilan. Ini menjadi nilai tambah, apalagi
ketika tengku imum (sebutan untuk pemuka agama di kampung)
berhalangan hadir ketika ada orang meninggal.
Dengan adanya skill ini
sangat membantu. Terlepas ada syarat tertentu yang harus dimiliki untuk bisa
memimpin tahlilan ini.
Inilah empat skill yang
mesti dimiliki oleh pemuda Aceh beragama Islam menurut versi Abu Haifa. Jika
keempat skill ini sudah Anda kuasai, berarti Anda orang yang
beruntung dan rezeki pun lancar. Isnyaallah. [Hayatullah Pasee | abuhaifa.com]