| Anak-anak yang mencari barang bekas duduk di tepi Jembatan Lamnyong. (Foto: Ist). |
DARUSSALAM telah lama dipandang sebagai jantung aktivitas pendidikan di Aceh. Di kawasan inilah ribuan pelajar, mahasiswa, dosen, peneliti, dan tenaga pendidik menjalani rutinitas akademiknya setiap hari. Jalan-jalan di sekitar kampus sering dipenuhi oleh lalu-lalang mahasiswa dengan buku atau laptop, warung kopi yang dipadati diskusi intelektual, serta berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu. Gambaran ini membuat banyak orang mengasosiasikan Darussalam dengan kemajuan pendidikan dan dinamika intelektual yang hidup.
Namun, di antara hiruk-pikuk tersebut, sesekali tampak pemandangan yang berbeda: anak-anak yang mencari barang bekas dan duduk di tepi jalan atau di sekitar area komersial. Mereka tidak terkait langsung dengan institusi pendidikan di Darussalam, tetapi keberadaan mereka memunculkan pertanyaan yang lebih luas: bagaimana kondisi anak-anak di sekitar kawasan pendidikan ini? Apakah semua dari mereka telah mendapatkan akses yang layak terhadap pendidikan, perlindungan, dan ruang tumbuh yang aman?
Fenomena ini tidak serta-merta menjadi indikasi adanya kegagalan pada Darussalam sebagai kawasan pendidikan. Tidak pula secara otomatis dapat dijadikan dasar untuk menyimpulkan sesuatu tentang masyarakat di sekitarnya. Justru pemandangan tersebut dapat menjadi cermin bahwa lingkungan dengan sumber daya akademik melimpah pun tetap bersinggungan dengan kerumitan sosial yang lebih luas. Label “kota pelajar” tidak menjamin bahwa seluruh anak yang hidup di sekitar kawasan itu menikmati kesempatan belajar yang sama. Dan di titik inilah muncul ruang refleksi: apa makna sebuah pusat pengetahuan jika di sekelilingnya masih ada anak-anak yang tampak jauh dari ruang belajar?
Pertanyaan ini tidak harus diartikan sebagai kritik, melainkan sebagai undangan untuk memahami kenyataan sosial yang mungkin lebih kompleks. Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan anak-anak turun ke jalan, mulai dari kondisi keluarga, keterbatasan ekonomi, hingga situasi sosial tertentu. Tanpa pemahaman yang utuh, mudah bagi siapa pun untuk terburu-buru mengambil kesimpulan. Karena itu, langkah pertama mungkin bukan mencari kesalahan, tetapi mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar: apa saja penyebab yang memungkinkan fenomena ini muncul? Apakah ada dukungan yang belum menjangkau mereka? Apakah para orang tua memiliki pilihan yang terbatas? Atau justru ada program bantuan yang sudah berjalan, tetapi belum diketahui secara luas?
Darussalam sebagai kawasan pendidikan sebenarnya memiliki peluang besar untuk berperan dalam memahami persoalan ini dengan cara yang konstruktif. Keberadaan universitas, lembaga penelitian, dan komunitas akademik menciptakan potensi kolaborasi lintas sektor yang tidak dimiliki banyak daerah lain. Pemerintah daerah, masyarakat, organisasi sosial, serta institusi pendidikan dapat melihat lebih dekat kondisi anak-anak yang bekerja di ruang publik. Dari sana, berbagai pihak dapat menilai apakah diperlukan intervensi tambahan, program pendampingan, atau sekadar koordinasi yang lebih baik agar anak-anak tersebut tetap dapat mengakses pendidikan.
Pendekatan seperti ini tidak harus dilihat sebagai upaya menyelamatkan citra. Sebaliknya, ia dapat dipahami sebagai wujud kepedulian yang konsisten dengan nilai-nilai keilmuan: rasa ingin tahu, kepekaan terhadap realitas sosial, dan kemauan untuk mencari solusi berdasarkan pemahaman yang utuh. Kawasan akademik yang kuat biasanya tidak hanya menjadi tempat produksi pengetahuan, tetapi juga ruang untuk menguji apakah nilai yang mereka ajarkan dapat diterapkan pada persoalan nyata di sekitar mereka.
Tentu saja penting untuk tidak serta-merta mengasumsikan bahwa semua anak yang terlihat bekerja di ruang publik sepenuhnya terputus dari pendidikan. Ada kasus di mana anak tetap bersekolah tetapi membantu orang tua di luar jam belajar, ada juga yang bekerja untuk alasan yang tidak berkaitan dengan akses pendidikan. Ini menunjukkan bahwa penilaian cepat bisa menyesatkan. Membuka ruang dialog dan penelitian lapangan dapat memberikan gambaran yang lebih akurat.
Jika fenomena ini dipahami dengan pendekatan yang hati-hati, Darussalam dapat memperluas makna predikat “kota pelajar” bukan hanya sebagai tempat belajar bagi mahasiswa, tetapi juga sebagai kawasan yang memberi perhatian pada kesejahteraan anak-anak di sekitarnya. Bayangkan bila lingkungan akademik yang besar dan beragam ini mampu mendorong inisiatif bersama untuk memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan untuk belajar, tumbuh, dan bermimpi. Tidak perlu ada kesimpulan tunggal atau jawaban yang tergesa-gesa, yang diperlukan adalah kemauan untuk bertanya, memahami, dan mengevaluasi apa yang dapat dilakukan bersama.
Pada akhirnya, fenomena anak-anak yang bekerja di ruang publik di sekitar Darussalam bukanlah hal yang harus dilihat sebagai ancaman bagi identitas kawasan pendidikan tersebut. Justru, ia bisa menjadi pemantik refleksi dan peluang kolaborasi. Pertanyaan yang muncul bukanlah “siapa yang salah?”, melainkan “apa yang belum kita pahami?” dan “apa yang mungkin bisa ditingkatkan?”.
Dengan cara itulah predikat “kota pelajar” dapat menjadi lebih bermakna, sebuah kawasan yang tidak hanya unggul dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga peduli bahwa semua anak memiliki hak untuk belajar dan berkembang. []