Di era digital ini, Generasi Z (lahir sekitar tahun 1997–2012) tumbuh dalam dunia yang hiperterhubung (hyperconnected), tetapi secara emosional justru banyak yang merasa terputus.
Di balik notifikasi yang tak berhenti, story yang tampak
bahagia, dan percakapan grup yang ramai, ada perasaan sunyi yang sulit
dijelaskan. Kita hidup dalam budaya “online presence” yang menuntut untuk
selalu tampak baik-baik saja. Maka banyak di antara kita tanpa sadar menekan
emosi pribadi, menutup luka, dan menampilkan versi terbaik diri, bahkan ketika
hati sedang tidak baik-baik saja.
Akibatnya,
muncul kebutuhan besar untuk memiliki safe space, ruang aman tempat seseorang
bisa didengar tanpa dihakimi. Itulah mengapa frasa “someone to talk” terasa
begitu dalam bagi generasi ini. Di balik kata sederhana itu, tersimpan
kerinduan akan empati, penerimaan, dan keberadaan seseorang yang sungguh mau
mendengar.
Fenomena ini dikenal para peneliti sebagai “modern loneliness” yaitu kesepian modern yang bertolak belankang di tengah dunia serba terkoneksi. Menurut survei dari Cigna (2021), sekitar 79% Generasi Z mengaku merasa kesepian meski aktif di media sosial.
Begitu pula studi dari Harvard Graduate School of Education
(2021) yang menemukan bahwa lebih dari separuh anak muda merasa tidak memiliki
seseorang yang benar-benar bisa diajak bicara saat sedang kesulitan.
Dalam
perspektif Islam, kebutuhan untuk “didengar” bukan hal yang sepele. Islam
memandang manusia sebagai makhluk sosial yang saling menolong dan mendukung
dalam kebaikan. Allah ﷻ berfirman:
“Barang
siapa yang meringankan kesulitan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah akan
meringankan kesulitannya di dunia dan di akhirat.” (HR. Bukhari No. 2442,
Shahih)
Hadis ini menunjukkan betapa besar nilai kebaikan dalam menjadi tempat bersandar bagi sesama. Dakwah, dalam makna yang lembut, tidak selalu tentang berbicara di mimbar, tapi juga tentang hadir mendengarkan dengan hati. Dalam dunia Generasi Z yang cepat dan penuh tekanan, menjadi “someone to talk” bisa menjadi bentuk dakwah paling sederhana dan mungkin paling dibutuhkan.
Islam juga mengajarkan qaulan layyinan (perkataan yang lembut) sebagaimana diperintahkan Allah kepada Nabi Musa untuk berbicara dengan Fir’aun (QS. Thaha [20]: 44).
Prinsip
ini bisa menjadi pedoman bagi kita untuk menghadirkan kata dan sikap yang
menenangkan saat orang lain berbagi luka batinnya.
Di
tengah hiruk pikuk media sosial, ketika “curhat” sering berubah jadi tontonan
atau dijawab dengan sarkas, barangkali bentuk dakwah paling tulus hari ini
adalah mendengarkan tanpa menggurui, tanpa menghakimi. Kadang, yang dibutuhkan
seseorang bukan nasihat panjang, tapi sekadar kalimat lembut: “Aku dengar kamu
dan aku di sini.”
Mungkin itu cara paling manusiawi dan paling islami untuk menyembuhkan luka di zaman ini. [Aida Rizkany Ash-Shofa]
.jpeg)