Banda Aceh-Dalam dunia dakwah, keberhasilan seorang dai tidak hanya diukur dari kefasihan berbicara atau keluasan ilmu agama, tetapi juga dari kemampuannya menyentuh hati tanpa menghakimi. Dakwah sejatinya adalah seni menyampaikan kebenaran dengan penuh kasih sayang, bukan ajang untuk menunjukkan siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah.
Sering kali, dakwah kehilangan esensinya ketika disampaikan dengan nada menggurui atau bernada menghakimi. Padahal, hati manusia adalah ladang yang lembut ia akan tumbuh subur bila disirami dengan kelembutan, bukan dipukul dengan celaan. Rasulullah SAW sendiri menjadi teladan agung dalam hal ini. Beliau tidak pernah menyampaikan ajaran Islam dengan kemarahan, tetapi dengan kelembutan dan kasih yang menenangkan.
Dikisahkan, ketika seorang Arab Badui kencing di dalam masjid, para sahabat marah besar dan ingin menghentikannya. Namun Rasulullah SAW menenangkan mereka dan berkata, “Biarkan dia selesai, kemudian siramlah tempat itu dengan air.” Setelah itu, beliau mendekati orang tersebut dengan lembut dan mengajarkan adab beribadah di masjid. Dengan cara yang penuh hikmah itulah, hati si Badui tersentuh dan menerima ajaran Islam tanpa paksaan.
Inilah makna sejati dari dakwah: mengajak, bukan menghakimi; merangkul, bukan memukul. Ketika seseorang berdosa, bukan berarti ia tertutup dari rahmat Allah. Justru di situlah peran dai untuk menjadi jalan hidayah, bukan menjadi hakim yang menutup pintu taubat.
Di era media sosial saat ini, kita kerap melihat seruan dakwah yang disampaikan dengan nada keras, disertai celaan atau sindiran tajam. Padahal, yang dibutuhkan umat bukanlah kalimat yang melukai, melainkan nasihat yang menghidupkan jiwa. Dakwah yang efektif adalah dakwah yang menghadirkan kedamaian, yang mampu membuat seseorang ingin berubah karena hatinya tersentuh bukan karena merasa takut atau malu dihakimi.
Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nahl ayat 125: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
Ayat ini menegaskan bahwa dakwah harus berlandaskan hikmah (kebijaksanaan) dan mau‘izhah hasanah (nasihat yang baik). Hikmah membuat pesan dakwah diterima akal, sementara kelembutan membuatnya diterima hati. Maka, bagi setiap dai, guru, maupun siapa pun yang berdakwah, hendaklah menyampaikan pesan agama dengan cinta dan empati. Ingatlah, manusia tidak semuanya berada pada tingkat keimanan yang sama. Ada yang baru belajar, ada yang sedang berjuang meninggalkan keburukan, dan ada pula yang masih mencari arah.
Dakwah yang menyentuh hati tanpa menghakimi akan melahirkan perubahan yang tulus, bukan perubahan karena tekanan. Sebab ketika hati disentuh dengan kasih, maka Allah-lah yang akan menumbuhkan hidayah di dalamnya. [Siti Sara]
