![]() |
Riski Nopriyama. (Foto : Humas USK) |
Banda Aceh - "Ajaib." Begitulah cara Riski Nopriyama, alumnus Fakultas Hukum (FH) Universitas Syiah Kuala (USK), angkatan 2018, menggambarkan pengalamannya dalam program prestisius Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) Academic Fellowship 2025.
Program yang berlangsung selama enam minggu, dari 17 April hingga 25 Mei 2025 di Amerika Serikat itu, membuka jalan bagi pengetahuan, pengalaman lintas budaya, dan koneksi global yang akan dikenangnya seumur hidup, sebuah bab yang tak terlupakan dalam perjalanan pribadi dan profesionalnya.
Berasal dari Aceh, daerah yang masih menghadapi tantangan lingkungan dan ketimpangan akses pendidikan, Riski terdorong untuk melihat bagaimana negara lain, khususnya Amerika Serikat, mengatasi isu-isu penting ini melalui kewirausahaan dan inovasi.
"Saya selalu penasaran bagaimana AS memberdayakan komunitas melalui pendidikan dan kewirausahaan sosial, terutama di wilayah-wilayah yang sumber dayanya terbatas," ujar Riski.
Proses seleksi YSEALI sangat kompetitif dan ketat. Riski mempersiapkan diri untuk dua tahap seleksi; administrasi dan wawancara, dengan tetap jujur pada ceritanya sendiri.
"Saya menulis esai aplikasi dengan kejujuran, mencerminkan nilai-nilai yang saya pegang, tantangan yang saya hadapi, dan tujuan yang ingin saya capai. Saat wawancara, saya sampaikan dengan tulus keinginan belajar saya dan ketertarikan terhadap isu keberlanjutan dan ekonomi biru," kenangnya.
Kabar diterimanya ia peroleh saat sedang belajar di Pare, Jawa Timur. Ia mengaku bahagia sekaligus kaget. Di University of Connecticut, Riski bergabung dengan kelompok yang berfokus pada inovasi, kewirausahaan, dan pemberdayaan ekonomi.
Selama program, ia mengunjungi berbagai kota di Amerika Serikat seperti New York, Boston, Philadelphia, New Jersey, New Haven, Chicago, Princeton, dan Washington, D.C.
Riski mengikuti seminar, kunjungan ke perusahaan, kegiatan relawan, serta sesi akademik di universitas-universitas Ivy League seperti Harvard, MIT, Yale, Brown, dan Princeton. Salah satu momen paling berkesan adalah sesi kepemimpinan.
"Sesi ini mengajarkan saya banyak tentang ketahanan dan empati. Ini benar-benar mengubah cara saya memaknai kekuatan dan kolaborasi," bebernya.
Pengalaman bermakna lainnya adalah ketika ia diundang untuk memperkenalkan budaya Indonesia dalam sebuah sesi akademik di University of Connecticut. Mewakili Indonesia dan Asia Tenggara di depan audiens yang begitu beragam, sungguh pengalaman sangat berarti bagi Riski.
Menurutnya, tinggal dan belajar bersama 24 pemimpin muda dari seluruh Asia Tenggara merupakan pengalaman yang membuka mata dan penuh emosi.
"Kami belajar satu sama lain. Perpisahan di akhir program adalah salah satu momen tersulit, kami telah membangun ikatan yang begitu bermakna," ujarnya.
Riski juga aktif memperkenalkan budaya Indonesia selama program. Ia mengenakan batik saat acara formal, membagikan souvenir khas Aceh, dan bersama rekan-rekan asal Indonesia mengadakan 'pesta mie instan' yang menjadi favorit para peserta. Tentu saja, ada momen penyesuaian.
“Cuacanya sangat dingin, sampai 1°C. Dan salat lima waktu tanpa adanya jeda khusus seperti di Indonesia butuh penyesuaian. Tapi saya belajar untuk menyampaikannya secara baik-baik, dan semua orang sangat menghargai," jelasnya.
Salah satu pelajaran terbesar yang dibawa Riski pulang adalah perubahan cara pandangnya terhadap makna kepemimpinan.
"Di AS, kami bertemu banyak orang yang pekerjaannya didorong oleh tujuan, bukan keuntungan. Itu sangat membekas bagi saya. Sekarang saya percaya bahwa kepemimpinan harus berlandaskan pada kebaikan, kolaborasi, dan dampak jangka panjang," sebutnya.
Sekembalinya ke Indonesia, Riski mulai mengembangkan platform yang mengadvokasi isu keberlanjutan, pendidikan, dan dukungan untuk usaha kecil dan menengah (UKM). Ia juga terus aktif dalam jaringan alumni YSEALI, memanfaatkannya untuk memperluas akses terhadap peluang pengembangan bagi generasi muda di Aceh.
Selama program, ia turut menggagas inisiatif kolaboratif regional yang mendorong keterlibatan pemuda dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di kawasan Asia Tenggara. Bagi mahasiswa yang bermimpi mengikuti program YSEALI, Riski membagikan pesan penuh semangat.
"Jangan ragu untuk mendaftar, dan jangan biarkan latar belakangmu menjadi penghalang. Berasal dari daerah terpencil atau kurang berkembang justru merupakan kekuatan, itu memberikanmu perspektif yang nyata dan tulus. Dan jangan khawatir jika Bahasa Inggrismu tidak sempurna atau belum punya skor TOEFL. Selama kamu bisa menyampaikan ide dengan jelas dan jujur, itu sudah cukup," tegasnya.
Ia juga mendorong calon peserta untuk merenungkan secara mendalam apa yang ia sebut sebagai: Tiga Mengapa. Mengapa kamu? Mengapa isu tersebut penting bagimu? Dan mengapa kamu perlu belajar ke AS melalui YSEALI?
"Jika kamu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jujur dan jelas, kamu akan menonjol. Dan jangan ragu untuk menghubungi alumni, kami siap membantu," ucapnya.
Perjalanan Riski bersama YSEALI bukan sekadar kisah sukses pribadi. Ini adalah contoh inspiratif tentang bagaimana ketulusan, tekad, dan semangat untuk menciptakan perubahan dapat membuka pintu menuju peluang global.
"Saya tidak pernah membayangkan bisa menginjakkan kaki di Amerika Serikat, apalagi bisa berbicara di kampus-kampus seperti Harvard atau MIT. Perjalanan ini sungguh magis. Ini mengubah cara saya memimpin, berpikir, dan berkontribusi bagi dunia," pungkas Riski. []